Jalan Panjang Ziarah Hidup

Jalan Panjang Ziarah Hidup

Sabtu, 17 April 2010

PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN KOTA

Pendahuluan

Istilah-istilah seperti kota, urban dan urbanisme atau perkotaan merujuk pada berbagai fenomena yang sangat berfariasi sesuai dengan sejarah perkembangan sebuah kota. Banyak disiplin ilmu yang telah mencoba mengembangkan perspektif masing-masing untuk memahami fenomena urban atau perkotaan tersebut. Kita mengenal misalnya antropologi perkotaan, ilmu ekonomi perkotaan, geografi perkotaan dan yang kita pelajari sekarang yaitu sosiologi perkotaan. Berbagai konsepsi mengenai perkotaan ternyata berbeda-beda dalam setiap bahasa. Tulisan ini ingin mengkaji tentang perencanaan dan pemgembangan kota yang efektif, sehingga dapat menjadi locus yang nyaman bagi semua orang. Pembahasan akan dimulai dengan mendefinisikan kota, kemudian sejarah pengembangan dan perencanaan kota kemudian aspek-aspek yang mesti diperhatikan dalam perencanaan kota.

1. Pengertian Kota

Upaya mendefiniskan tentang kota merupakan awal dari sebuah upaya yang panjang dan telah dimulai sejak dahulu. Filsuf terkenal, Plato mendefinisikannya sebagai sebuah pencerminan dari kehidupan dalam ruang jagat yang berdasar pada hubungan manusia dengan sesamanya. Lebih jauh lagi, ia juga mendefinisikannya sebagai sebuah bentuk organisasi sosial dan politis yang memudahkan warganya mengembangkan potensi mereka dan hidup bersama sesuai dengan nilai kemanusiaan dan kebenaran. Bahkan awal dari bentukan kota pun berasal dari sekumpulan manusia yang berkumpul di suatu tempat dan berdiam berdasarkan suatu tujuan (Wikipedia, 2007). Berdasarkan definisi diatas, sehingga dapat terlihat bahwa terdapat beberapa elemen yang sangat berpengaruh dalam upaya pendefinisian kota, yaitu manusia dan ruang.

Sebuah kota adalah sebuah tempat, dimana orang-orang di dalamnya mengidentifikasi diri mereka dengan locus tertentu, serta merupakan kumpulan tempat yang mempunyai berbagai penanda dan kenangan masing-masing. Fustel (1991) menyatakan bahwa “…to learn is to remember, and learning is essentially concerned with signs…”.Saat manusia belajar, dia akan mencerna penanda dari lingkungannya dan mengingatnya terus menerus. Hal ini dapat menjelaskan mengapa manusia dapat mempunyai keterikatan yang erat dengan daerah asalnya, karena telah belajar untuk mengingat dalam rentang waktu yang cukup lama.

Kota menjadi kumpulan memori karena merupakan wadah dari fungsi hidup dasar manusia yang merekam siklus dan daur hidup manusia. Kota adalah tempat manusia hidup dan bertinggal (homo vitae), tempat manusia bekerja atau belajar (ora et labora) , bahkan kota adalah tempat manusia bermain (homo ludens). Sesuai dengan pernyataan Plato di atas, dapat disimpulkan bahwa kota yang baik adalah kota yang mampu memberikan tempat terbaik bagi warganya, untuk melaksanakan fungsi-fungsi dasar hidupnya seperti yang telah disebutkan di atas.

Selain Plato, tokoh lain yang juga memberikan penjelasan atau definisi tentang kota adalah Max Webber yang mengembangkan suatu tipe kota ideal dalam bukunya The City (1958). Apa yang diangggapnya ideal adalah suatu komunitas atau tempat tinggal yang dengan pasar sebagai institusi sentralnya, ditunjang oleh suatu system administrasi dan hukum yang otonom serta menyerupai suatu asosiasi yang merangkum segenap unsure dari kehidupan berkota itu sendiri. Pemikiran Webber ini menurut Ulf Haerness, merupakan suatu urbanisasi yang sangat ketat yang berlatar belakang pada sejarah perkembangan kota-kota di Eropa dari masa kemasa. Webber menambahkan bahwa aspek penting yang menjadi daya tarik urbanisasi tersebut adalah perkembangan tekhnologi di perkotaan.

Perkembangan sebuah kota tak bisa dilepaskan dari perkembangan dan penggunaan teknologi. Hal ini disebabkan karena sebuah kota selalu dihubungkan oleh segenap infrastruktur seperti jalan, pembuangan dan air bersih. Keberadaan infrastruktur tersebut sangat didukung pencapaiannya oleh teknologi yang ada, sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup warganya dengan lebih baik secara kolektif. Elemen penyusun kota, seperti manusia, ruang kehidupan, dan memori-memori ataupun teknologi pendukung tersebut adalah elemen yang sifatnya selalu berkembang. Selalu ada populasi manusia, perkembangan arus budaya yang meningkatkan kumpulan memori dan juga berpengaruh ke ruang hidup manusia, dan tentu kemajuan teknologi pendukung. Hal ini disebabkan karena terdapat perubahan kondisi lingkungan dan perubahan pola pikir masyarakat akibat semakin heterogennya budaya yang didukung oleh kemajuan teknologi. Kultur yang dibentuk masyarakat sekarang dan dulu sudah jauh berbeda karena perkembangan elemen-elemen yang disebutkan di atas tersebut, dan hal itu sangat berpengaruh ke perubahan bentuk kota karena kota mengikuti perkembangan kultur masyarakat atau warganya. Dalam pemikiran sebuah kota, salah satu bagian terpenting adalah adanya sebuah tempat (place) dengan batasan geografis. Untuk pemahaman kota ‘sekarang’, sesungguhnya batasan ini secara kasat mata sifatnya tetap, namun secara psikologis dapat berubah menjadi lebih membaur dan kabur (blur) sifatnya. Perluasan jangkauan teknologi komunikasi dan infrastruktur yang mengakomodasi pergerakan memungkinkan manusia untuk pergi ke tempat yang lebih jauh dan tetap dapat berkomunikasi ke siapapun yang diinginkannya. Bentuk komunikasinya sudah bukan lagi bersifat lokal, namun lebih mengarah ke komunikasi global.

Dapat disimpulkan bahwa perkembangan elemen-elemen penyusun kota dapat mengubah pola perkotaan, dari awalnya memusat (centralized) menjadi menyebar (decentralized). Pengubahan pola perkotaan dan perkembangan elemen-elemen penyusun kota ini juga berpengaruh kepada hal lain selain batas kota, yaitu pergerakan kota (city movement). Pengaruh perkembangan teknologi menantang pergerakan warga kota baik secara fisik maupun non-fisik. Hal ini penting bagi kehidupan berkota, sebab cara menikmati pengalaman berkota ‘sekarang’ yang paling baik adalah dialami sambil bergerak, sehingga dapat menikmati dan merasakan kumpulan memori-memori yang tersusun melalui elemen kota yang berfungsi mendukung kehidupan manusia, baik melalui bangunan, alam, maupun infrastruktur, yang ketiganya kemudian berintegrasi dalam membentuk suatu pengalaman dalam sebuah ruang kota

Dari penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat paling tidak dua hal yang sangat penting untuk pencarian definisi kota ideal ‘sekarang’, yaitu batas ruang berkehidupan kota (bukan secara kasat mata atau fisiologis, namun berupa pengalaman secara psikologis), serta pergerakan berkota. Seperti yang telah dijelaskan di atas, dua hal ini pun sangat dipengaruhi oleh perkembangan manusia, ruang kehidupan manusia, budaya dan perkembangan teknologi yang juga saling berkaitan satu dengan yang lainnya yang kemudian membentuk bentuk kota ideal ‘sekarang’.

Secara geometris, menarik bahwa bentuk (form) kota ideal ‘sekarang’ didasarkan pada bentukan yang cukup dinamis, karena berdasarkan pertumbuhan elemen kota.Dalam proses pem’bentuk’an kota, terdapat interaksi antara elemen-elemen kota, yang sifatnya sangat unik satu sama lain, sehingga membentuk suatu bentukan organic. Bentuk organik ini salah satunya muncul karena dipengaruhi perluasan jangkauan pergerakan dalam kehidupan berkota, yang sifatnya tumbuh dan menyebar, bukan terkungkung dalam batasan yang kaku. Kota juga terbentuk dan tumbuh karena hubungan dan interaksi antar elemennya yang telah disebutkan tadi, yaitu jaringan infrastruktur; bangunan dan ruang terbuka, dimana dalam konteks ‘sekarang’ hubungan dan interaksi tersebut terus menerus meluas dan menciptakan ruang demi ruang kehidupan yang sama sekali baru, baik secara fisik maupun psikologis. Bahkan secara struktural dan hierarki pembentukan kota, bentuk ini ideal karena menggeneralisasi fungsi dan aturan yang ada sehingga seluruh bagian dapat berfungsi dengan baik dalam tingkatan yang sama dan mempunyai keunikan masing-masing, sesuai dengan bagian lingkungannya masing-masing.

2. Pengembangan dan Perencanaan Kota.

Perencanaan perkotaan sama tuanya dengan peradaban. Kota-kota antik merefleksikan pengagungan terhadap para penguasa dan ber­bagai kebutuhan militer dan keagamaan mereka. Kota pertama yang berisi kelas pekerja dirancang untuk melayani para buruh dalam rangka mem­bangun sebuah piramida kerajaan Mesir. Pengaruh­pengaruh yang lebih demokratik masuk bersama­an dengan agora Yunani dan forum Romawi. Teknologi hidrolik selalu berpengaruh besar ter­hadap perencanaan perkotaan sejak kerajaan­kerajaan kuno Mesir dan Mesopotamia, hingga pembangunan kota-kota besar di negeri Belanda. Perencanaan kota-kota besar abad pertengahan ditata dengan dinding-dinding dan benteng­bentengnya. Para pendiri koloni dan markas mi­liter memberikan banyak contoh mengenai kota hasil perencanaan.

Sejak akhir Abad Pertengahan, dukungan para penguasaa, perusahaan-perusahaan milik sau­dagar dan tuan tanah memberi kemungkinan pada para arsitek untuk mencipta atau memugar banyak kota besar yang terkenal. Beberapa contohnya adalah karya Bernini dan rekan-rekan­nya di Roma, dua bersaudara Woods di Bath, Craig di Edinburg dan kota-kota besar bergaya barokh di Jerman dan Austria.

Revolusi industri dan berbagai kota besar yang tumbuh pesat dan tidak beraturan telah mengubah ciri perencanaan perkotaan secara sangat radikal. Perencanaan berkembang melalui tiga jalur yang berbeda tetapi terkait satu sama lain.

Pertama, regulasi penggunaan tanah yang terperinci menjadi ciri banyak kota lama, tapi regulasi ini menjadi tidak populer selama kurun waktu industrialisasi laissez-faire pertama. Ma­salah-masalah kesehatan dan sanitasi memaksa diterimanya hukum dan aturan pembangunan me­ngenai lebarnya jalan dan penataan perumahan. Kemudian, diberlakukan undang-undang skema perencanaan yang memisahkan antara penggu­naan tanah yang tidak sesuai, kepadatan peru­mahan, tanah cadangan untuk ruang terbuka dan untuk tujuan-tujuan umum lainnya.

Tipe perencanaan higienis ini sejak lama dikri­tik karena merusak "keragaman yang kaya" dalam kehidupan perkotaan. Pengaruh protektif dari hukum pembagian zona ini terasa paling kuat di pemukiman kelas-atas daerah pinggiran. Di termpat lain, kontrol perencanaan dipertahankan tetap fleksibel oleh tekanan dari pasar tanah pribadi. Kondisi seperti ini terutama terjadi di Amerika Serikat, di mana tata kota regular untuk lapangan olahraga justru mendorong spekulasi tanah, dan di mana aturan pertama tentang pembagian zona untuk New York membolehkan jumlah maksi­mum penduduk sebanyak 365 juta orang. Se­baliknya, pembangunan diawasi sangat ketat di negeri Belanda, dan beberapa negara Eropa lain­nya, tetapi fragmentasi kepemilikan tanah dan adanya nilai-nilai spekulatif telah memperbesar kendala bagi perencanaan dan juga bagi parti­sipasi.

Upaya-upaya politik sudah dilakukan untuk memungut pajak dan mengawasi nilai-nilai pem­bangunan demi mendorong perencanaan; misal­nya, di Inggris ada tiga upaya semacam itu antara tahun 1945 dan 1980. Upaya-upaya ini berhasil membatasi kompensasi perencanaan, sehingga membantu melindungi wilayah-wilayah pedesaan dan tanah-tanah subur di sekelilingnya, tetapi kurang berhasil dalam mengupayakan perbaikan atau pembaharuan perkotaan. Beberapa negara di Eropa, terutama setelah Perang Dunia II, telah memadukan dan merealokasikan kepemilikan ta­nah untuk membantu pembangunan kembali. Namun implementasi rencana-rencana itu tergan­tung pada inisiatif swasta atau pun pemerintah. Untuk mengefektifkannya, perencanaan peme­rintah memerlukan kebijakan-kebijakan yang terpadu dan koordinasi yang rumit, dan di kalang­an masyarakat Barat perubahan perkotaan sema­kin tergantung pada kepentingan bisnis dan keuangan.

Kedua, tradisi arsitektur historis berlanjut terus melalui cara-cara baru. Kota-kota besar modern biasanya tidak didominasi lagi oleh karya-karya besar yang bersifat publik, kecuali di negara-negara otokratik atau dalam kasus-kasus khusus seperti Brasilia. Perencanaan jalan raya akhirnya lebih berpengaruh atau bahkan dominan terhadap di­sain kota-kota besar. Rangkaian bulevar buatan Haussmann telah merestrukturisasi Paris, yang umumnya dimaksudkan untuk mengendalikan kerumunan orang. Gerakan "kota indah" — yang diwakili oleh rencana Burnham untuk Chicago — mencakup berbagai boulevar, taman dan museum tetapi tidak memperdulikan ghetto-ghetto ku­muh di belakang wajah kota itu. Parkways (jalan raya dengan jalur hijau di tengahnya) memadu­kan antara jalan raya dan taman, yang kadang­-kadang memberikan pemandangan indah. Robert Moses dari New York berkarya melalui upaya me­ngaitkan perencanaan dengan koordinasi terha­dap karya-karya publik. Disain-disain monumen­tal untuk kota-kota besar masa depan — seperti karya Le Corbuiser — merupakan bagian dari tradisi arsitektur historis, tapi tampaknya hanya bisa diwujudkan melalui proyek-proyek khusus.

Ketiga, telah muncul berbagai pembangunan publik yang terencana seperti kota-kota baru di Inggris, Canberra di Australia dan banyak contoh lain. Kota-kota ini menyiratkan berbagai praktek masif dalam pembangunan kawasan umum, yang meneruskan berbagai tradisi kuno untuk pengelolaan tanah milik pribadi atau perusahaan. lntinya adalah pemilikan publik atas tanah, bila dipadukan dengan pemberian tanggung jawab secara luas bagi pembangunan kota di tangan lembaga kekuasaan yang sama. Pembangunan Stockholm pasca-perang — ketika kota itu memi­liki paling banyak tanah kosong, membiayai atau menyediakan paling banyak perumahan, dan memiliki serta mengembangkan sistem transpor­tasi — adalah contoh yang baik dari perencanaan komprehensif bagi pertumbuhan perkotaan. Ba­nyak kota lain di Eropa dan Inggris memiliki potensi yang sama, meskipun jarang yang begitu lengkap. Perubahan-perubahan iklim politik — dan pergantian pemerintah kota yang kuat de­ngan sistem metropolitan dua tingkat — men­jelang tahun 1980 telah mengakhiri era peren­canaan kota dan mesin-mesin pembangunan (Self 1982). Perencanaan komprehensif oleh badan-badan ad hoc seperti korporasi kota baru juga terbukti mengandung kerentanan politik.

Pembangunan-pembangunan publik yang terencana sering mampu menyempurnakan stan­dar sosial dan lingkungan dan memberikan akses yang lebih baik terhadap berbagai fasilitas bagi orang usia lanjut, remaja belasan tahun, dan istri­-istri yang bekerja; tetapi pembangunan itu juga menerapkan konsep teknokratik pada para peng­guna pasif. Ada banyak kegagalan dalam skema-­skema pembangunan kembali (redevelopment schemes), yang menyebabkan pertumbuhan ting­gi perumahan yang tidak populer, pengabaian kelalaian terhadap fasilitas-fasilitas sosial, dan di Amerika Serikat pengusiran orang-orang miskin secara ekstensif demi kepentingan pembangun­an ekonomi yang disubsidi.

Profesi perencanaan kota secara historis dido­minasi oleh para arsitek tetapi dalam perkembang­annya makin banyak memanfaatkan keahlian para insinyur, ahli penilai, ekonomi, sosiolog, dan lain-lainnya. Perencanaan regional — salah satu perhatian khusus para ahli geografi — memiliki anti yang makin penting. Perencanaan terkait erat dengan fungsi-fungsi besar lainnya, seperti perumahan — pada masa lampau, dan terutama akhir-akhir ini — dengan transportasi. Terdapat banyak silang pendapat mengenai pendidikan ter­baik bagi seseorang perencana kota, dan menge­nai kemungkinan pemisahan peranannya dari tugas manajemen perkotaan secara umum.

Perkembangan perencanaan modem banyak dipengaruhi oleh para penulis imajinatif seperti Geddes, Mumford (1961), dan para idealis praktis seperti Ebenezer Howard dan Sir Frederic Osbom, yang memprakarsai dua buah kota kebun. Konsep­konsep pertumbuhan berimbang, pembatasan ukuran perkotaan, masyarakat-masyarakat baru, dan proteksi pedesaan adalah penting bagi kema­juan besar dalam kekuatan-kekuatan perenca­naan kota setelah tahun 1940. Berbagai ideal sosial — meskipun dikalahkan oleh tuntuan­tuntutan pasar — tetap penting bagi perencana­an dan juga bagi para perencana profesional.

Sistem-sistem perencanaan makin kompleks, karena sering melibatkan sejumlah pedoman nasional, rencana penataan regional, rencana subregional atau distrik, dan rencana lokal yang rinci. Rencana yang beragam ini kadang-kadang menimbulkan konflik dan sering mengundang oleh para pengembang balk dari pemerintah mau­pun swasta. Perencanaan telah membangun tek­nik-teknik yang rumit untuk meramalkan dan merancang model, dan makin terfokus pada pengarahan dan pemantauan kecenderungan­kecenderungan ekonomik dan sosial yang tidak wajar.

Namun demikian, corak perencanaan perko­taan tetap sangat politis dan reflektif terhadap nilai-nilai dominan dalam suatu masyarakat. Di berbagai sistem komunis, pemerintah mempu­nyai kekuasaan yang besar terhadap perencana­an, tetapi sering diterapkan secara monolitik yang mengabaikan hak-hak swasta. Di negara­-negara demokratik kapitalis, perencana bisa men­jadi seorang spesialis dalam regulasi pengguna­an tanah, atau seorang generalis yang lemah dalam mengartikulasikan kepentingan masyara­kat. Banyak yang sudah ditulis tentang berbagai ketidaksederajatan spasial di kota dan dominasi kepentingan-kepentingan kapitalis (Harvey 1973).

3. Beberapa Aspek Penting dalam Perencanaan dan Pengembangan Kota

Masyarakat perkotaan atau juga sering disebut urban community adalah suatu konsep atau pengertian tentang sekelompok masyarakat yang tinggal di kota dan dengan penekaan pada sifat-sifat kehidupannya serta cirri-ciri kehidupannya yang berbeda dengan mayarakat pedesaan. Perhatian khusus masyarakat kota tidak terbatas pada aspek-aspek seperti pakaian, makanan dan perumahan, tetapi mempunyai perhatian lebih luas lagi.

Ada beberapa ciri-ciri yang menonjol pada masyarakat kota, yaitu: pertama soal ketergantungan. Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain. Yang terpenting disini adalah masyarakat perorangan atau individu. Pembagian kerja di antara warga-warga kota juga lebih tegas dan mempunyai batas-batas yang nyata. Kemungkinan untuk mendapat pekerjaan juga lebih banyak diperoleh warga kota daripada warga desa.Jalan pikiran rasional yang pada umumnya dianut masyarakat perkotaan, menyebabkan bahwa interaksi-interaksi yang terjadi lebih didasarkan pada faktor kepentingan daripada faktor pribadi. Jalan kehidupan yang cepat di kota-kota, mengakibatkan pentingnya faktor waktu bagi warga kota, sehingga pembagian waktu yang teliti sangat penting, untuk dapat mengejar kebutuhan-kebutuhan seorang individu. Perubahan sosial tampak dengan nyata di kota, sebab kota biasanya terbuka dalam menerima pengaruh-pengaruh dari luar.

Selain ciri-ciri umum diatas, ada beberapa karakter lain yang menjadi ‘trade mark” kota jika dibandingkan dengan desa. Aspek-aspek tersebut adalah: pertama, jumlah dan kepadatan penduduk. Meskipun tidak ada ukuran pasti, kota memiliki penduduk yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan desa. Hal ini mempunyai kaitan erat dengan kepadatan penduduk. Kepadatan penduduk ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap pola pembangunan perumahan. Kedua, lingkungan hidup.. Lingkungan hidup di pedesaan sangat jauh berbeda dengan di pekotaan. Lingkungn pedesaan terasa lebih dekat dengan alam bebas. Udaranya bersih, sinar matahari cukup, tanahnya segar diselimuti berbagai jenis tumbuh-tumbuhan dan berbagai satwa yang terdapat sela-sela pepohonan. Air yang menetes, memancar dari sumber-sumber dan kemudian mengalir melalui anak-anak sungai mengairi petak-petak persawahan. Semua ini sangat berbeda dengan lingkungan perkotaan yang sebagian besar dilapisi beton dan aspal. Bangunan-bangunan yang menjulang tinggi. Udara yang terasa pengap karena tercemar asap buangan cerobong pabrik dan kendaran bermotor. Kota sudah terlalu banyak mengalami sentuhan teknologi, sehingga kadang-kadang memasukkan sebagian alam kedalam rumahnya, baik yang berupa tumbuh-tumbuhan bahkan mungkin hanya gambarnya saja.

Ketiga, mata pencaharian. Perbedaan yang sangat menonjol adalah pada mata pencaharian. Kegiatan utama penduduk desa berada di sektor ekonomi primer yaitu bedang agraris. Kehidupan ekonomi terutama tergantung pada usaha pengelolaan tanah untuk keperluan pertanian, peternakan dan termasuk juga perikanan darat. Sedangkan kota merupakan pusat kegiatan sektor ekonomi sekunder yang meliputi bidang industri, disamping sektor ekonomi tertier yaitu bidang pelayanan jasa. Jadi kegiatan di desa adalah mengolah alam untuk memperoleh bahan-bahan mentah untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia. Sedangkan kota mengolah bahan-bahan mentah yang berasal dari desa menjadi bahan setengah jadi atau mengolahnya sehingga berwujud bahan jadi yang dapat segera di konsumsi. Keempat, corak kehidupan sosial. Corak kehidupan sosial di desa dapat dikatakan masih homogen. Sebaliknya di kota sangat heterogen, karena disana saling bertemu berbagai suku bangsa, agama, kelompok dan masing-masing memiliki kepentingan yang berlainan. Kelima, Stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial kota jauh lebih kompleks daripada di desa. Misalnya saja mereka yang memiliki keahlian khusus dan bidang kerjanya lebih bamyak memerlukan pemikiran memiliki kedudukan lebih tinggi dan upah lebih besar daripadamereka yang dalam sisitem kerja hanya mampu menggunakan tenaga kasarnya saja. Hal ini akan membawa akibat bahwa perbedaan antara pihak kaya dan miskin semakin menyolok. Keenam, mobilitas social, Mobilitas sosial di kota jauh lebih besar daripada di desa. Di kota, seseorang memiliki kesempatan besar untuk mengalami mobilitas sosial, baik vertikal yaitu perpindahan kedudukan yang lebih tinggi atau lebih rendah, maupun horisontal yaitu perpindahan ke pekerjaan lain yang setingkat. Ketujuh, interaksi sosial. Pola-pola interaksi sosial pada suatu masyarakat ditentukan oleh struktur sosial masyarakat yang bersangkutan. Karena struktur sosial dan lembaga-lembaga sosial yang ada di pedesaan sangat berbeda dengan di perkotaan. Maka pola interaksi sosial pada kedua masyarakat tersebut juga tidak sama. Kedelapan, Solidaritas social, solidaritas sosial pada kedua masyarakat ini pun ternyata juga berbeda. Kekuatan yang mempersatukan masyarakat pedesaan timbul karena adanya kesamaan-kesamaan kemasyrakatan. Sebaliknya solidaritas masyarakat perkotaan justru terbentuk karena adanya perbedaan-perbedaan dalam masyarakat. Kedelapan, kedudukan dalam hierarki sistem administrasi nasional. Kedudukan dalam hierarki sistem administrasi nasional, kota memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada desa. Di negara kita misalnya, urut-urutan kedudukan tersebut adalah : ibukotanegara, kota provinsi, kota kabupaten, kota kecamatan dan seterusnya. Semakin tinggi kedudukan suatu kota dalam hierarki tersebut, kompleksitasnya semakin meningkat, dalam arti semakin banyak kegiatan yang berpusat disana.

Selain itu masyarakat atau penduduk kota merupakan satu komunitas. Yang dimaksudkan dengan komunitas adalah suatu kelompok teritorial di mana penduduknya menyelenggarakan kegiatan-kegiatan hidup mereka sepenuhnya. Ciri-cir dari suatu community seperti penduduk kota adalah: Pertama, berisi kelompok manusia; Kedua, menempati suatu wilayah geografis; Ketiga, mengenal pembagian kerja kedalam spesialisasi dengan fungsi-fungsi yang saling tergantung; Keempat, memiliki kebudayaan dan sistem sosial bersama yang mengatur kegiatan mereka; Kelima, para anggotanya sadar akan kesatuan serta kewargaan mereka dari community; dan keenam, mampu berbuat secara kolektif menurut cara tertentu.

Selain ciri-ciri diatas, pemahaman penduduk kota sebagai satu komunitas juga dapat diperjelas dibagi menjadi empat jenis community: Pertama, Rural; Fringe, Town; dan Metropolis. Sedangkan kondisi-kondisi yang diperlukan bagi suatu kota (city) adalah: Pertama, pembagian kerja dalam spesialisasi yang jelas; Kedua, organisasi sosial lebih berdasarkan kelas sosial dari pada kekeluargaan; Ketiga, lembaga pemerintah lebih berdasarkan teritorium daripada kekeluargaan; Keempat, suatu sistem perdagangan dan pertukangan; Kelima, mempunyai sarana komunikasi dan dokumentasi; dan Keenam, berteknologi yang rasional. Kota di dunia Barat masih terbagi atas jenis town dan city, dan masing-masing disebut coraknya menurut fungsi dominan, sehingga ada kota pertambangan, tangsi, pemerintahan, pendidikan, perdagangan, industri, turisme, dan sebagainya.

Tadi sudah dijelaskan diatas bahwa kota memiliki struktur soaial yang sangat berfariasi. Struktur sosial dari kota dapat dilihat dari beberapa gejala berikut: Pertama, heterogenitas sosial, kepadatan penduduk mendorong terjadinya persaingan dalam pemanfaatan ruang; Kedua, hubungan sekunder, jika hubungan antar penduduk di desa disebut primer, di kota disebut sekunder; Ketiga, kontrol (pengawasan sekunder), di kota orang tak mempedulikan peri laku pribadi sesamanya; Keempat, toleransi sosial, orang-orang kota secara fisik berdekatan, tetapi secara sosial berjauhan; Kelima, mobilitas sosial, di sini yang dimaksud adalah perubahan status sosial seseorang; Keenam, ikatan sukarela, secara sukarela orang menggabungkan diri ke dalam perkumpulan yang disukainya; Ketujuh, Individualisasi, merupakan akibat dari sejenis atomisasi, orang dapat memutuskan apa-apa secara pribadi, merencanakan kariernya tanpa desakan orang lain; dan kede;apan segregasi keruangan, akibat dari kompetisi ruang terjadi pada pola sosial yang berdasarkan persebaran tempat tinggal atau sekaligus kegiatan sosial-ekonomis.

Penutup

Perencanaan perkotaan yang efektif tergan­tung pada paduan antara regulasi publik dan inisiatif publik. Makin lama makin penting untuk mengatasi persoalan-persoalan seperti kemacet­an dan polusi lalu lintas, pemborosan lahan per­kotaan, pembangunan pusat kota yang berlebih­an, penurunan kualitas lingkungan; untuk mening­katkan akses peluang kerja dan fasilitas-fasilitas sosial melalui pembangunan sentra-sentra baru; dan untuk menetapkan standar-standar yang me­muaskan bagi perumahan dan lingkungan yang ramah. Perencanaan kota tradisional semakin perlu diintegrasikan dengan tujuan-tujuan ling­kungan. Meskipun perencanaan patut dipuji atas segala prestasinya — seperti perlindungan ter­hadap pusat-pusat sejarah, perlindungan terha­dap wilayah pinggiran kota dan beberapa kota baru yang terencana balk — namun meleset jauh dart tujuan-tujuan tersebut di atas. Kemajuan tidak hanya tergantung pada perekrutan para perencana yang berpendidikan tinggi dan berde­dikasi pada tujuan-tujuan mendasar itu, tetapi lebih dan itu juga bergantung pada dukungan

Referensi

Adam and Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008.

William Outhwaite (ed), Pemikiran Sosial Modern, Jakarta, Kencana, 2008.

Robert H. Lauer, Perspektif Tentang Perubahan Sosial, Jakarta, Rineka Cipta, 3003.

Seotomo, Pembangunan Masyarakat, Jakarta, Pustaka Pelajar, 2003.

Ir. Mulyono Sadyohutomo, MRCP., Manajemen Kota dan Wilayah; Realitas dan Tantangan, Jakarta: Bumi Aksara, 2008.

Raldi Hendro Koestoer dkk, Dimensi Keruangan Kota, Jakarta Penerbitan Universitas Indonesia Press, 2001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar