NATO. No action, talk only. Demikian orang sering berkomentar sinis. Orang sering terlalu banyak bicara mengenai banyak hal dalam seminar-seminar, tetapi kemudian tidak ada tindakan apa-apa yang dapat memperbaiki situasi.
Dalam tulisan ini, akan dibicarakan tentang “berpikir benar dalam hubungannya dengan ketulusan: apa artinya ?” Ketika mulai berpikir tentang topik tersebut, terlintas dalam pikiran pemikiran ini : mungkin yang mendesak saat ini bukan soal berpikir benar ataupun berbicara benar, tetapi bertindak benar. Orang bisa berpikir benar dan berbicara benar tetapi tetap bertindak tidak benar.
Namun kemudian saya teringat akan apa yang pernah dinyatakan oleh Hiedegger seorang filsuf terkenal, dalam salah satu tulisannya berjudul ”Apa yang disebut berpikir ?” (What is called Thinking ?) yang juga dimaksudkan sebagai ”Apa yang memanggil untuk berpikir ?” (What Calls for Thinking ?”). Dalam tulisan tersebut – menanggapi komentar bahwa yang sesungguhnya kurang dewasa ini adalah tindakan, dan bukan pikiran – Heidegger mengatakan, “Selama berabad-abad orang kebanyakan terlalu banyak bertindak dan kurang berpikir ?”
Di tempat lain, Hannah Arendt juga bertanya-tanya, jangan-jangan yang menjadi salah satu penyebab merajalelanya tindak kejahatan tanpa malu-malu adalah meluasnya ketanpaberpikiran (thoughtlessness) dalam bertindak.
Apa yang dinyatakan baik oleh Heidegger maupun Hanna Arendt di atas, membuat saya berpikir bahwa kendati tindakan yang benar akhirnya memang merupakan hal yang penting untuk memperbaiki keadaan, namun berpikir benar, apabila dimengerti secara benar, kiranya dapat menunjang untuk bertindak benar.
Bertindak benar melibatkan pelaksanaan kehendak, dan orang yang mampu berpikir benar (terlebih kalau berhenti pada ranah teoritis) bisa jadi lemah dalam kehendak, sehingga apa yang dipikirkan secara benar tidak mampu diwujudkan dalam tindakan yang benar. Akan tetapi, sekali lagi, kalau berpikir benar dimengerti secara benar, sesungguhnya akan menunjang tindakan yang benar. Bukankah merajalelanya tindak kekerasan dan kerusuhan, yang merusak baik bangunan fisik maupun lebih-lebih sendi-sendi hidup bersama dalam masyarakat di berbagai tempat di Indonesia belakangan ini, terjadi karena orang bertindak tanpa dipikir panjang atau terburu nafsu ?
Benar-Benar dalam Berpikir
Sebelum menjelaskan apa artinya berpikir benar, dan nantinya juga menunjukkan kaitan antara berpikir benar dan tulus, ada baiknya kalau ditanggapi terlebih dulu keberatan yang mungkin dikemukakan terhadap konsep ”berpikir benar”. Keberatan itu dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan berikut : adakah benar atau salah dalam berpikir ?
Pertanyaan ini muncul karena biasanya sebutan ”benar” atau ”salah” merujuk pada penegasan suatu putusan (judgement) yang dirumuskan dalam bentuk proposisi atau pernyataan yang berbunyi ”bumi itu bulat” adalah pernyataan yang benar. Sedangkan pernyataan ”membunuh orang yang tak bersalah itu benar” adalah pernyataan yang salah.
Suatu keyakinan atau kepercayaan juga bisa benar atau salah. Akan tetapi keduanya biasanya juga dirumuskan dalam bentuk suatu pernyataan. Misalnya, bagi sebagian orang, kepercayaan tentang kebangkitan orang mati dianggap sebagai kepercayaan yang benar. Sedangkan kepercayaan bahwa orang akan memperoleh aji kekebalan kalau berhasil memperkosa sepuluh gadis yang masih perawan, dianggap sebagai kepercayaan yang salah.
Dalam kegiatan berpikir sendiri, sebagai kegiatan merumuskan gagasan atau konsep tentang apa yang dialami dan menjadi objek pemikiran, belum ada benar-salah. Gagasan bisa jelas atau kabur, bisa terpilah-pilah atau amburadul. Demikian juga dengan konsep. Cara berpikir orang bisa dinilai betul atau keliru, lurus atau bengkok, sahih atau tak sahih, jernih atau rancu, tetapi tidak bisa benar atau salah. Demikian argumen yang bisa dikemukakan terhadap konsep "berpikir benar".
Menanggapi keberatan di atas, perlu diakui bahwa ranah pikiran perlu dibedakan dari ranah kenyataan. Sebab pada ranah pikiran, terlepas dari kenyataan, belum ada benar-salah. Bahwa pembedaan tidak perlu berarti pemisahan, pikiran dan kenyataan merupakan dua hal yang selalu bersifat korelatif. Apakah gagasan yang menjadi isi pikiran kita itu benar atau salah, hanya bisa diketahui kalau bisa ada pengujian apakah gagasan tersebut bersesuaian dengan kenyataan di luar pikiran yang dirujuk atau tidak.
Akan tetapi, kenyataan sendiri baru bisa diketahui ketika dipikirkan. Kenyataan tanpa pikiran adalah bagaikan kucing bisu hitam di tengah malam yang kelam. Kita bahkan tidak tahu bahwa di situ ada kucing. Maka, apakah benar-salah itu sudah ada dalam pikiran atau belum, kalau pikiran secara abstrak dilepaskan dari keterarahannya pada kenyataan memang belum. Akan tetapi, kalau berpikir dimengerti secara konkret, dan dengan demikian keterarahannya pada kenyataan sebagaimana adanya itu diandaikan, maka bisa ada benar-salah dalam berpikir.
Dalam pemakaian sehari-hari, kata “berpikir” sering juga disamakan dengan bernalar, atau berpikir secara diskursif dan kalkulatif. Tetapi, sesungguhnya berpikir lebih luas dari sekedar bernalar. Bernalar adalah kegiatan pikiran untuk menarik kesimpulan dari premis-premis yang sebelumnya sudah diketahui. Bernalar bisa mengambil bentuk induktif, deduktif. Penalaran induktif merupakan proses penarikan kesimpulan yang berlaku umum (universal) dari rangkaian kejadian yang bersifat khusus (partikular). Sebaliknya, penalaran deduktif adalah penarikan kesimpulan khusus berdasarkan hukum atau pernyataan yang berlaku umum
Kegiatan bernalar memang merupakan aspek yang amat penting dalam berpikir. Tetapi, menyamakan berpikir dengan bernalar adalah suatu penyempitan konsep berpikir. Penalaran adalah kegiatan berpikir seturut asas kelurusan berpikir atau sesuai dengan hukum logika. Penalaran sebagai kegiatan berpikir logis belum menjamin bahwa kesimpulan yang ditarik atau pengetahuan yang dihasilkan pasti benar. Walaupun penalarannya betul atau sesuai dengan asas-asas logika, kesimpulan yang ditarik bisa saja salah kalau premis-premis yang mendasari penarikan kesimpulan itu ada yang salah.
Dalam bernalar memang belum ada benar-salah. Yang ada adalah betul-keliru, sahih atau tak sahih. Tolok ukur penilaiannya adalah asas-asas logika atau hukum penalaran. Akan tetapi, kalau kegiatan berpikir dimengerti secara lebih luas dan menyeluruh, mulai dari pencerapan inderawi, konseptualisasi atau proses pemahaman atas data yang diperoleh, serta berakhir dengan penegasan putusan, maka dapat saja kita bicara tentang benar-salah dalam berpikir. Penalaran yang betul merupakan unsur yang arnat penting dalam kegiatan berpikir, dan dapat menunjang kegiatan berpikir yang benar.
Berpikir Benar
"Berpikir" adalah suatu kegiatan mental yang melibatkan kerja otak. Tetapi pikiran manusia, walaupun tidak bisa dipisahkan dari aktivitas kerja otak, lebih dari sekadar kerja organ tubuh yang disebut otak. Kegiatan berpikir juga melibatkan seluruh pribadi manusia. Sesungguhnya, kegiatan berpikir juga melibatkan perasaan dan kehendak manusia. Memikirkan sesuatu berarti mengarahkan diri pada objek tertentu, menyadari kehadirannya seraya secara aktif menghadirkannya dalam pikiran serta kemudian mempunyai gagasan atau wawasan tentang objek tersebut.
“Berpikir” juga berarti berjerih-payah secara mental untuk memahami sesuatu yang dialami atau mencari jalan keluar dari persoalan yang sedang dihadapi. Dalam "berpikir" juga termuat kegiatan meragukan dan memastikan, merancang, menghitung, mengukur, mengevaluasi, membandingkan, menggolongkan, memilah-milah atau membedakan, menghubungkan, menafsirkan, melihat kemungkinan-kemungkinan yang ada, membuat analisis dan sintesis, menalar atau menarik kesimpulan dari premis-premis yang ada, menimbang dan memutuskan.
Kegiatan berpikir biasanya dimulai ketika muncul keraguan dan pertanyaan untuk dijawab, atau berhadapan dengan persoalan atau masalah yang memerlukan pemecahan. Dalam berpikir ada dinamika gerak dari adanya gangguan suatu keraguan (irritation of doubt) atas kepercayaan atau keyakinan yang selama ini dipegang, lalu terangsang untuk melakukan penyelidikan (inquiry) dan kemudian diakhiri (paling tidak untuk sementara waktu) dalam pencapaian suatu keyakinan baru (the attainment of belief).
Kegiatan berpikir juga dirangsang oleh kekaguman atau keheranan akan apa yang terjadi atau dialami. Kekaguman atau keheranan akan apa yang terjadi atau dialami menimbulkan pertanyaan-pertanyaan untuk dijawab. Jenis, banyak sedikit, dan mutu pertanyaan yang diajukan tergantung dari minat, perhatian, sikap ingin tahu, serta bakat dan kemampuan subjek yang bersangkutan. Maka kegiatan berpikir manusia selalu tersituasikan dalam kondisi konkret subjek yang bersangkutan. Kegiatan berpikir juga dikondisikan oleh struktur bahasa yang dipakai serta oleh konteks sosio-budaya dan historis tempat kegiatan berpikir dilakukan.
Berpikir benar dimaksudkan sebagai kegiatan berpikir sedemikian rupa sehingga penemuan kebenaran dapat lebih terjamin. Kegiatan berpikir macam apa ini dan bagaimana itu diupayakan? Inilah dua pertanyaan pokok yang hendak dijawab.
Berpikir benar adalah kegiatan berpikir logis atau bernalar yang sahih dan didasarkan atas premis-premis yang kebenarannya terjamin oleh bukti-bukti yang mencukupi. Berpikir benar juga mengandaikan pengenalan dan penerimaan diri subjek yang berpikir sebagaimana adanya dan sikap membuka diri terhadap terang kehadiran serta penyingkapan diri objek sebagaimana adanya.
Bagaimana ini diupayakan? Pertama-tama berpikir logis. Untuk bisa berpikir logis, selain diperlukan pengenalan asas-asas panalaran, juga perlu dilatih pengungkapan gagasan secara jelas, rinci, dan runtut. Untuk ini, kemampuan berbahasa secara baik dan benar diperlukan. Suatu pernyataan bisa dinilai benar-salahnya kalau arti kalimatnya bisa diketahui secara jelas, bisa diketahui cara yang tepat untuk menguji kebenarannya, dan memiliki bukti yang mencukupi untuk dipercayai atau diyakini kebenarannya." Berpikir logis memang sekali lagi belum menjamin bahwa orang akan sampai kepada kebenaran, lebih-lebih kalau kebenarannya bukan hanya kebenaran nalar (truth of reason), tetapi kebenaran faktual.
Berkenaan dengan kebenaran faktual, berpikir benar mengandaikan bahwa pada tahap pengalaman atau presentasi data untuk dipikirkan, subjek yang berpikir perlu bersikap penuh perhatian. Cukup sering terjadi bahwa data-data yang relevan dari objek yang kita pikirkan, terlewatkan gara-gara kita kurang perhatian. Bias-bias apriori bisa membuat kita kurang jeli mengamati objek sebagaimana adanya.
Kemudian, pada tahap selanjutnya, ketika kita berusaha untuk mengerti dan memahami apa yang dialami, berpikir benar mengandaikan bahwa kita bersikap cerdik. Kita perlu menggunakan kecerdasan pikiran secara optimal. Akhirnya, sebelum menegaskan putusan, apakah konsep yang kita rumuskan tentang objek yang kita alami dan pikirkan itu memang benar demikian, orang yang berpikir benar perlu bersikap reflektif dan realistik.
Penalaran yang sahih baru akan membawa ke penarikan kesimpulan yang benar apabila kebenaran premis-premisnya memang terjamin oleh bukti-bukti yang mencukupi. Inilah syarat kedua yang perlu diperhatikan. Hal ini berlaku baik untuk kebenaran nalar maupun kebenaran faktual. Apa tolok ukurnya untuk menilai dan memutuskan apakah bukti yang menjaminnya itu mencukupi atau tidak?
Pertama, objektivitas. Tidak perlu dalam bentuk objektivitas fisik, dan berupa fakta yang bisa diamati oleh semua orang, tetapi bisa diuji kebenarannya secara intersubjektif. Bukti itu bisa secara nalar dimengerti oleh orang yang berkecimpung dalam bidang itu, dan kebenarannya bisa diterima secara sepakat oleh para ahli bidang yang bersangkutan. Tolok ukur objektivitas ini sedikit banyak dapat menjamin bahwa bukti tidak dicari-cari secara subjektif atau sewenang-wenang dikemukakan. Objektivitas bukti juga bisa dicek dari objektivitas cara kerja atau metode yang dipakai untuk sampai ke penarikan kesimpulan yang mau dinilai kebenarannya.
Kedua, bukti tersebut secara kualitatif berbobot dan secara kuantitatif mewakili populasi yang sampelnya diambil secara acak. Bukti macam ini khususnya penting dalam ilmu-ilmu sosial. Kalau buktinya didasarkan atas suatu kesaksian, tolok ukur ketiga adalah otoritas dan kompetensi sang pemberi kesaksian. Tolok ukur keempat, khususnya berlaku dalam ilmu sejarah dan arkeologi, adalah otentisitas atau keaslian bukti.
Ketulusan dan Berpikir Benar
Di atas sudah dikatakan bahwa berpikir benar juga mengandaikan pengenalan dan penerimaan diri subjek yang berpikir sebagaimana adanya dan sikap membuka diri terhadap terang kehadiran serta penyingkapan diri objek sebagaimana adanya. Pengandaian ini ada kaitannya dengan ketulusan.
Tulus adalah suatu sikap tidak berpura-pura, jujur, apa adanya, tidak ada maksud-maksud tersembunyi, baik dalam pengenalan dan pengungkapan diri maupun dalam komunikasi dan interaksi dengan orang lain. Kata "tulus", dalam bahasa Indonesia, merupakan padanan dari kata-kata Inggris seperti genuine, sincere, truthful, honest, no pretention.
Ketulusan memuat kemurnian motivasi dalam mengungkapkan diri, berkomunikasi, dan menjalin relasi dengan orang lain, atau dalam berbuat sesuatu terhadap orang lain. Pengalaman akan adanya ketulusan dalam sikap, tutur kata, dan perbuatan seseorang yang menjalin relasi dengan kita, akan membuat kita berani dan sedia untuk mengambil sikap yang sama.
Ketulusan mengandaikan adanya kepercayaan timbal-balik. Ketika sendi-sendi hidup bersama, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat, sudah rusak karena orang kehilangan kepercayaan satu sama lain, jangan heran kalau relasi antarpribadi dipenuhi dengan kepura-puraan, kepalsuan, keculasan, dan intrik-intrik busuk. Nilai kebenaran juga lalu merosot. Taktik dan strategi untuk menang terhadap lawan menjadi persoalan yang diutamakan. Apakah pengamatannya benar, apakah penafsiran dan pemahamannya benar, apakah penilaian dan putusannya benar, tidak lagi dipedulikan.
Bilamana ada ketulusan, maka pengenalan dan penerimaan diri subjek yang berpikir sebagaimana adanya dan sikap membuka diri terhadap terang kehadiran serta penyingkapan diri objek sebagaimana adanya, yang diandaikan dalam berpikir benar, menjadi mungkin. Subjek yang berpikir dengan mengarahkan diri pada objek, entah itu
orang lain atau benda-benda di luar dirinya, akan keliru atau tersesat kalau ia tidak bertindak berdasarkan pengertian yang tulus, balk tentang dirinya sendiri maupun objek yang dipikirkannya. Pemahamannya akan merupakan suatu kesalahpahaman.
Pengertian yang tulus tentang diri mengandaikan pengenalan dan penerimaan diri sebagaimana adanya. Ini memerlukan kejujuran, integritas diri, dan sikap kerendahan hati. Sedangkan pengertian yang tulus tentang objek yang dipikirkan mengandaikan sikap keterbukaan diri subjek terhadap terang kehadiran serta penyingkapan diri objek sebagaimana adanya. Seperti halnya dalam hutan belantara yang lebat, sinar terang matahari hanya bisa membuat pepohonan terlihat bila ada wilayah yang terbuka atau dedaunan tersibak, demikian pula terang kehadiran dan penyingkapan diri objek hanya akan bisa tertangkap kalau subjek membuka diri. Membuka diri berarti juga membiarkan diri dikoreksi oleh kenyataan objek yang menyatakan diri. Berpikir benar juga berarti berpikir dialektis.
Peran penting ketulusan dalam berpikir benar menjadi semakin nyata apabila kita memahami berpikir benar sebagai bagian tak terpisahkan dari berbicara dan bertindak benar. Artinya, berpikir dalam tingkat praktis tidak hanya berhenti dalam tingkat teoritis. Diri sebagai pemikir di sini tidak dipisahkan dari diri sebagai pelaku tindakan. Tindakan yang benar merupakan muara dari pemikiran yang benar. Tindakan dapat disebut benar manakala dilakukan oleh seseorang dengan tulus, dengan integritas diri, dan menunjukkan bahwa ia memiliki wawasan yang tepat terhadap watak, situasi, dan kebutuhan orang lain di sekitarnya.
Kalau dimengerti dalam konteks ini, maka berpikir benar tidak hanya menuntut sikap penuh perhatian terhadap data yang tersaji, cerdik menganalisis dan memahami apa yang dialami, dan bersikap reflektif serta realistik sebelum menegaskan putusan atau membuat pemyataan, tetapi juga harus memiliki sikap tanggung jawab dalam bertindak. Kalau berpikir benar diletakkan dalam perspektif bertutur kata dan bertindak benar, maka berpikir sendiri bukanlah suatu kegiatan mewah yang hanya bisa dilakukan oleh para filsuf yang sudah kecukupan hidupnya sebagaimana dibayangkan oleh Aristoteles, tetapi sebuah keharusan bagi setiap orang. Berpikir pikir dan bekerja juga menjadi dua kegiatan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Kalau berpikir benar ditempatkan dalam perspektif dan diarahkan pada bertindak benar, maka konsep kebenaran sendiri tidak lagi teri batas pada ranah nalar teoritis, tetapi sudah masuk dalam ranah nalar praktis. Kebenaran tidak hanya dibatasi sebagai karakteristik suatu; proposisi atau pernyataan, tetapi juga kebenaran - dalam tindakan. Pengetahuan yang benar, walaupun bernilai pada dirinya, oleh subjek konkret yang berusaha berpikir, bertutur kata dan, bertindak benar, akan tidak dilepaskan dari konteks hidup secara keseluruhan.
Demikian beberapa pokok permenungan tentang makna berpikir benar dan tulus. Semoga semakin banyak orang yang tidak hanya berpikir benar, namun berpikir yang benar dan tulus serta mampu bertindak yang benar pula.
Oleh:
God Samderubun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar