Jalan Panjang Ziarah Hidup

Jalan Panjang Ziarah Hidup

Sabtu, 17 April 2010

BERPIKIR BENAR DAN TULUS; APA ARTINYA….?

NATO. No action, talk only. Demikian orang sering berkomentar sinis. Orang sering terlalu banyak bicara mengenai banyak hal dalam seminar-seminar, tetapi kemudian tidak ada tindakan apa-apa yang dapat memperbaiki situasi.

Dalam tulisan ini, akan dibicarakan tentang “berpikir benar dalam hubungannya dengan ketulusan: apa artinya ?” Ketika mulai berpikir tentang topik tersebut, terlintas dalam pikiran pemikiran ini : mungkin yang mendesak saat ini bukan soal berpikir benar ataupun berbicara benar, tetapi bertindak benar. Orang bisa berpikir benar dan berbicara benar tetapi tetap bertindak tidak benar.

Namun kemudian saya teringat akan apa yang pernah dinyatakan oleh Hiedegger seorang filsuf terkenal, dalam salah satu tulisannya berjudul ”Apa yang disebut berpikir ?” (What is called Thinking ?) yang juga dimaksudkan sebagai ”Apa yang memanggil untuk berpikir ?” (What Calls for Thinking ?”). Dalam tulisan tersebut – menanggapi komentar bahwa yang sesungguhnya kurang dewasa ini adalah tindakan, dan bukan pikiran – Heidegger mengatakan, “Selama berabad-abad orang kebanyakan terlalu banyak bertindak dan kurang berpikir ?”

Di tempat lain, Hannah Arendt juga bertanya-tanya, jangan-jangan yang menjadi salah satu penyebab merajalelanya tindak kejahatan tanpa malu-malu adalah meluasnya ketanpaberpikiran (thoughtlessness) dalam bertindak.

Apa yang dinyatakan baik oleh Heidegger maupun Hanna Arendt di atas, membuat saya berpikir bahwa kendati tindakan yang benar akhirnya memang merupakan hal yang penting untuk memperbaiki keadaan, namun berpikir benar, apabila dimengerti secara benar, kiranya dapat menunjang untuk bertindak benar.

Bertindak benar melibatkan pelaksanaan kehendak, dan orang yang mampu berpikir benar (terlebih kalau berhenti pada ranah teoritis) bisa jadi lemah dalam kehendak, sehingga apa yang dipikirkan secara benar tidak mampu diwujudkan dalam tindakan yang benar. Akan tetapi, sekali lagi, kalau berpikir benar dimengerti secara benar, sesungguhnya akan menunjang tindakan yang benar. Bukankah merajalelanya tindak kekerasan dan kerusuhan, yang merusak baik bangunan fisik maupun lebih-lebih sendi-sendi hidup bersama dalam masyarakat di berbagai tempat di Indonesia belakangan ini, terjadi karena orang bertindak tanpa dipikir panjang atau terburu nafsu ?

Benar-Benar dalam Berpikir

Sebelum menjelaskan apa artinya berpikir benar, dan nantinya juga menunjukkan kaitan antara berpikir benar dan tulus, ada baiknya kalau ditanggapi terlebih dulu keberatan yang mungkin dikemukakan terhadap konsep ”berpikir benar”. Keberatan itu dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan berikut : adakah benar atau salah dalam berpikir ?

Pertanyaan ini muncul karena biasanya sebutan ”benar” atau ”salah” merujuk pada penegasan suatu putusan (judgement) yang dirumuskan dalam bentuk proposisi atau pernyataan yang berbunyi ”bumi itu bulat” adalah pernyataan yang benar. Sedangkan pernyataan ”membunuh orang yang tak bersalah itu benar” adalah pernyataan yang salah.

Suatu keyakinan atau kepercayaan juga bisa benar atau salah. Akan tetapi keduanya biasanya juga dirumuskan dalam ben­tuk suatu pernyataan. Misalnya, bagi sebagian orang, kepercayaan tentang kebangkitan orang mati dianggap seba­gai kepercayaan yang benar. Sedangkan kepercayaan bahwa orang akan mem­peroleh aji kekebalan kalau berhasil memperkosa sepuluh gadis yang masih perawan, dianggap sebagai keperca­yaan yang salah.

Dalam kegiatan berpikir sendiri, sebagai kegiatan merumuskan gagasan atau konsep tentang apa yang dialami dan menjadi objek pemikiran, belum ada benar-salah. Gagasan bisa jelas atau kabur, bisa terpilah-pilah atau ambura­dul. Demikian juga dengan konsep. Ca­ra berpikir orang bisa dinilai betul atau keliru, lurus atau bengkok, sahih atau tak sahih, jernih atau rancu, tetapi tidak bisa benar atau salah. Demikian argumen yang bisa dikemukakan terhadap konsep "berpikir benar".

Menanggapi keberatan di atas, perlu diakui bahwa ranah pikiran perlu dibe­dakan dari ranah kenyataan. Sebab pada ranah pikiran, terlepas dari kenyataan, belum ada benar-salah. Bahwa pembe­daan tidak perlu berarti pemisahan, pi­kiran dan kenyataan merupakan dua hal yang selalu bersifat korelatif. Apakah gagasan yang menjadi isi pikiran kita itu benar atau salah, hanya bisa diketa­hui kalau bisa ada pengujian apakah ga­gasan tersebut bersesuaian dengan ke­nyataan di luar pikiran yang dirujuk atau tidak.

Akan tetapi, kenyataan sendiri baru bisa diketahui ketika dipikirkan. Kenya­taan tanpa pikiran adalah bagaikan ku­cing bisu hitam di tengah malam yang kelam. Kita bahkan tidak tahu bahwa di situ ada kucing. Maka, apakah benar­-salah itu sudah ada dalam pikiran atau belum, kalau pikiran secara abstrak di­lepaskan dari keterarahannya pada kenyataan memang belum. Akan tetapi, kalau berpikir dimengerti secara kon­kret, dan dengan demikian keterarahannya pada kenyataan sebagaimana adanya itu diandaikan, maka bisa ada benar-salah dalam berpikir.

Dalam pemakaian sehari-hari, kata “berpikir” sering juga disamakan dengan bernalar, atau berpikir secara diskursif dan kalkulatif. Tetapi, sesungguhnya berpikir lebih luas dari sekedar bernalar. Bernalar adalah kegiatan pikiran untuk menarik kesimpulan dari premis-­premis yang sebelumnya sudah dike­tahui. Bernalar bisa mengambil bentuk induktif, deduktif. Penalaran induktif merupakan proses penarikan kesimpulan yang berlaku umum (universal) dari rangkaian keja­dian yang bersifat khusus (partikular). Sebaliknya, penalaran deduktif adalah penarikan kesimpulan khusus berdasar­kan hukum atau pernyataan yang ber­laku umum

Kegiatan bernalar memang meru­pakan aspek yang amat penting dalam berpikir. Tetapi, menyamakan berpikir dengan bernalar adalah suatu penyem­pitan konsep berpikir. Penalaran adalah kegiatan berpikir seturut asas kelurusan berpikir atau sesuai dengan hukum lo­gika. Penalaran sebagai kegiatan ber­pikir logis belum menjamin bahwa ke­simpulan yang ditarik atau pengetahuan yang dihasilkan pasti benar. Walaupun penalarannya betul atau sesuai dengan asas-asas logika, kesimpulan yang dita­rik bisa saja salah kalau premis-premis yang mendasari penarikan kesimpulan itu ada yang salah.

Dalam bernalar memang belum ada benar-salah. Yang ada adalah betul­-keliru, sahih atau tak sahih. Tolok ukur penilaiannya adalah asas-asas logika atau hukum penalaran. Akan tetapi, ka­lau kegiatan berpikir dimengerti secara lebih luas dan menyeluruh, mulai dari pencerapan inderawi, konseptualisasi atau proses pemahaman atas data yang diperoleh, serta berakhir dengan pene­gasan putusan, maka dapat saja kita bi­cara tentang benar-salah dalam berpikir. Penalaran yang betul merupakan unsur yang arnat penting dalam kegiatan ber­pikir, dan dapat menunjang kegiatan berpikir yang benar.

Berpikir Benar

"Berpikir" adalah suatu kegiatan mental yang melibatkan kerja otak. Tetapi pikiran manusia, walaupun tidak bisa dipisahkan dari aktivitas kerja otak, lebih dari sekadar kerja organ tubuh yang disebut otak. Kegiatan berpikir ju­ga melibatkan seluruh pribadi manusia. Sesungguhnya, kegiatan berpikir juga melibatkan perasaan dan kehendak ma­nusia. Memikirkan sesuatu berarti me­ngarahkan diri pada objek tertentu, me­nyadari kehadirannya seraya secara aktif menghadirkannya dalam pikiran serta kemudian mempunyai gagasan atau wawasan tentang objek tersebut.

“Berpikir” juga berarti berjerih-pa­yah secara mental untuk memahami se­suatu yang dialami atau mencari jalan keluar dari persoalan yang sedang dihadapi. Dalam "berpikir" juga termuat kegiatan meragukan dan memastikan, merancang, meng­hitung, mengukur, mengevaluasi, membanding­kan, menggolongkan, memilah-milah atau membedakan, menghubungkan, menafsirkan, melihat kemungkinan-kemungkinan yang ada, membuat analisis dan sintesis, menalar atau menarik kesimpulan dari premis-premis yang ada, menimbang dan memutuskan.

Kegiatan berpikir biasanya dimulai ketika muncul keraguan dan pertanyaan untuk dijawab, atau berhadapan dengan persoalan atau masalah yang memerlukan pemecahan. Dalam berpikir ada dinamika gerak dari adanya gangguan suatu keraguan (irritation of doubt) atas kepercayaan atau keyakinan yang selama ini dipegang, lalu terangsang untuk melakukan penyelidikan (in­quiry) dan kemudian diakhiri (paling tidak untuk sementara waktu) dalam pencapaian suatu keyakinan baru (the attainment of belief).

Kegiatan berpikir juga dirangsang oleh keka­guman atau keheranan akan apa yang terjadi atau dialami. Kekaguman atau keheranan akan apa yang terjadi atau dialami menimbulkan perta­nyaan-pertanyaan untuk dijawab. Jenis, banyak sedikit, dan mutu pertanyaan yang diajukan ter­gantung dari minat, perhatian, sikap ingin tahu, serta bakat dan kemampuan subjek yang ber­sangkutan. Maka kegiatan berpikir manusia selalu tersituasikan dalam kondisi konkret sub­jek yang bersangkutan. Kegiatan berpikir juga dikondisikan oleh struktur bahasa yang dipakai serta oleh konteks sosio-budaya dan historis tempat kegiatan berpikir dilakukan.

Berpikir benar dimaksudkan sebagai ke­giatan berpikir sedemikian rupa sehingga pene­muan kebenaran dapat lebih terjamin. Kegiatan berpikir macam apa ini dan bagaimana itu di­upayakan? Inilah dua pertanyaan pokok yang hendak dijawab.

Berpikir benar adalah kegiatan berpikir logis atau bernalar yang sahih dan didasarkan atas premis-premis yang kebenarannya terjamin oleh bukti-bukti yang mencukupi. Berpikir benar juga mengandaikan pengenalan dan penerimaan diri subjek yang berpikir sebagaimana adanya dan sikap mem­buka diri terhadap terang kehadiran serta penyingkapan diri objek sebagai­mana adanya.

Bagaimana ini diupayakan? Per­tama-tama berpikir logis. Untuk bisa berpikir logis, selain diperlukan penge­nalan asas-asas panalaran, juga perlu dilatih pengungkapan gagasan secara jelas, rinci, dan runtut. Untuk ini, ke­mampuan berbahasa secara baik dan benar diperlukan. Suatu pernyataan bisa dinilai benar-salahnya kalau arti kali­matnya bisa diketahui secara jelas, bisa diketahui cara yang tepat untuk menguji kebenarannya, dan memiliki bukti yang mencukupi untuk dipercayai atau diya­kini kebenarannya." Berpikir logis memang sekali lagi belum menjamin bahwa orang akan sampai kepada kebe­naran, lebih-lebih kalau kebenarannya bukan hanya kebenaran nalar (truth of reason), tetapi kebenaran faktual.

Berkenaan dengan kebenaran fak­tual, berpikir benar mengandaikan bah­wa pada tahap pengalaman atau presen­tasi data untuk dipikirkan, subjek yang berpikir perlu bersikap penuh perhatian. Cukup sering terjadi bahwa data-data yang relevan dari objek yang kita pikir­kan, terlewatkan gara-gara kita kurang perhatian. Bias-bias apriori bisa mem­buat kita kurang jeli mengamati objek sebagaimana adanya.

Kemudian, pada tahap selanjutnya, ketika kita berusaha untuk mengerti dan memahami apa yang dialami, berpikir benar mengandaikan bahwa kita bersi­kap cerdik. Kita perlu menggunakan kecerdasan pikiran secara optimal. Akhirnya, sebelum menegaskan pu­tusan, apakah konsep yang kita ru­muskan tentang objek yang kita alami dan pikirkan itu memang benar demi­kian, orang yang berpikir benar perlu bersikap reflektif dan realistik.

Penalaran yang sahih baru akan membawa ke penarikan kesimpulan yang benar apabila kebenaran premis-­premisnya memang terjamin oleh bukti-­bukti yang mencukupi. Inilah syarat kedua yang perlu diperhatikan. Hal ini berlaku baik untuk kebenaran nalar maupun kebenaran faktual. Apa tolok ukurnya untuk menilai dan memutus­kan apakah bukti yang menjaminnya itu mencukupi atau tidak?

Pertama, objektivitas. Tidak perlu dalam bentuk objektivitas fisik, dan berupa fakta yang bisa diamati oleh semua orang, tetapi bisa diuji kebenar­annya secara intersubjektif. Bukti itu bisa secara nalar dimengerti oleh orang yang berkecimpung dalam bidang itu, dan kebenarannya bisa diterima secara sepakat oleh para ahli bidang yang ber­sangkutan. Tolok ukur objektivitas ini sedikit banyak dapat menjamin bahwa bukti tidak dicari-cari secara subjektif atau sewenang-wenang dikemukakan. Objektivitas bukti juga bisa dicek dari objektivitas cara kerja atau metode yang dipakai untuk sampai ke penarikan ke­simpulan yang mau dinilai kebenar­annya.

Kedua, bukti tersebut secara kuali­tatif berbobot dan secara kuantitatif me­wakili populasi yang sampelnya di­ambil secara acak. Bukti macam ini khususnya penting dalam ilmu-ilmu sosial. Kalau buktinya didasarkan atas suatu kesaksian, tolok ukur ketiga adalah otoritas dan kompetensi sang pemberi kesaksian. Tolok ukur ke­empat, khususnya berlaku dalam ilmu sejarah dan arkeologi, adalah otentisitas atau keaslian bukti.

Ketulusan dan Berpikir Benar

Di atas sudah dikatakan bahwa ber­pikir benar juga mengandaikan penge­nalan dan penerimaan diri subjek yang berpikir sebagaimana adanya dan sikap membuka diri terhadap terang kehadir­an serta penyingkapan diri objek seba­gaimana adanya. Pengandaian ini ada kaitannya dengan ketulusan.

Tulus adalah suatu sikap tidak ber­pura-pura, jujur, apa adanya, tidak ada maksud-maksud tersembunyi, baik da­lam pengenalan dan pengungkapan diri maupun dalam komunikasi dan inte­raksi dengan orang lain. Kata "tulus", dalam bahasa Indonesia, merupakan padanan dari kata-kata Inggris seperti genuine, sincere, truthful, honest, no pretention.

Ketulusan memuat kemurnian moti­vasi dalam mengungkapkan diri, berko­munikasi, dan menjalin relasi dengan orang lain, atau dalam berbuat sesuatu terhadap orang lain. Pengalaman akan adanya ketulusan dalam sikap, tutur ka­ta, dan perbuatan seseorang yang men­jalin relasi dengan kita, akan membuat kita berani dan sedia untuk mengambil sikap yang sama.

Ketulusan mengandaikan adanya kepercayaan timbal-balik. Ketika sendi-­sendi hidup bersama, baik dalam kelu­arga maupun dalam masyarakat, sudah rusak karena orang kehilangan keper­cayaan satu sama lain, jangan heran kalau relasi antarpribadi dipenuhi de­ngan kepura-puraan, kepalsuan, kecu­lasan, dan intrik-intrik busuk. Nilai ke­benaran juga lalu merosot. Taktik dan strategi untuk menang terhadap lawan menjadi persoalan yang diutamakan. Apakah pengamatannya benar, apakah penafsiran dan pemahamannya benar, apakah penilaian dan putusannya benar, tidak lagi dipedulikan.

Bilamana ada ketulusan, maka pe­ngenalan dan penerimaan diri subjek yang berpikir sebagaimana adanya dan sikap membuka diri terhadap terang kehadiran serta penyingkapan diri objek sebagaimana adanya, yang diandaikan dalam berpikir benar, menjadi mung­kin. Subjek yang berpikir dengan meng­arahkan diri pada objek, entah itu

orang lain atau benda-benda di luar dirinya, akan keliru atau tersesat kalau ia tidak bertindak ber­dasarkan pengertian yang tulus, balk tentang dirinya sendiri maupun objek yang dipikirkan­nya. Pemahamannya akan merupakan suatu kesalahpahaman.

Pengertian yang tulus tentang diri meng­andaikan pengenalan dan penerimaan diri sebagaimana adanya. Ini memerlukan kejujuran, integritas diri, dan sikap kerendahan hati. Se­dangkan pengertian yang tulus tentang objek yang dipikirkan mengandaikan sikap keterbuka­an diri subjek terhadap terang kehadiran serta penyingkapan diri objek sebagaimana adanya. Seperti halnya dalam hutan belantara yang lebat, sinar terang matahari hanya bisa membuat pepo­honan terlihat bila ada wilayah yang terbuka atau dedaunan tersibak, demikian pula terang keha­diran dan penyingkapan diri objek hanya akan bisa tertangkap kalau subjek membuka diri. Membuka diri berarti juga membiarkan diri di­koreksi oleh kenyataan objek yang menyatakan diri. Berpikir benar juga berarti berpikir di­alektis.

Peran penting ketulusan dalam berpikir be­nar menjadi semakin nyata apabila kita mema­hami berpikir benar sebagai bagian tak terpi­sahkan dari berbicara dan bertindak benar. Artinya, berpikir dalam tingkat praktis tidak ha­nya berhenti dalam tingkat teoritis. Diri seba­gai pemikir di sini tidak dipisahkan dari diri se­bagai pelaku tindakan. Tindakan yang benar merupakan muara dari pemikiran yang benar. Tindakan dapat disebut benar manakala dilaku­kan oleh seseorang dengan tulus, dengan inte­gritas diri, dan menunjukkan bahwa ia memi­liki wawasan yang tepat terhadap watak, situasi, dan kebutuhan orang lain di sekitarnya.

Kalau dimengerti dalam konteks ini, maka berpikir benar tidak hanya menuntut sikap pe­nuh perhatian terhadap data yang tersaji, cerdik menganalisis dan memahami apa yang dialami, dan bersikap reflektif serta realistik sebelum menegaskan putusan atau membuat pemyataan, tetapi juga harus memiliki sikap tanggung jawab dalam bertindak. Kalau berpikir benar diletak­kan dalam perspektif bertutur kata dan bertindak benar, maka berpikir sendiri bukanlah suatu ke­giatan mewah yang hanya bisa dilakukan oleh para filsuf yang sudah kecukupan hidupnya sebagaimana dibayangkan oleh Aristoteles, tetapi sebuah keharusan bagi setiap orang. Ber­pikir pikir dan bekerja juga menjadi dua kegiatan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Kalau berpikir benar ditempatkan dalam perspektif dan diarahkan pada bertindak benar, maka konsep kebenaran sendiri tidak lagi ter­i batas pada ranah nalar teoritis, tetapi sudah ma­suk dalam ranah nalar praktis. Kebenaran tidak hanya dibatasi sebagai karakteristik suatu; proposisi atau pernyataan, tetapi juga kebenaran - dalam tindakan. Pengetahuan yang benar, wa­laupun bernilai pada dirinya, oleh subjek kon­kret yang berusaha berpikir, bertutur kata dan, bertindak benar, akan tidak dilepaskan dari kon­teks hidup secara keseluruhan.

Demikian beberapa pokok permenungan tentang makna berpikir benar dan tulus. Semoga semakin banyak orang yang tidak hanya berpikir benar, namun berpikir yang benar dan tulus serta mampu bertindak yang benar pula.

Oleh:

God Samderubun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar