Jalan Panjang Ziarah Hidup

Jalan Panjang Ziarah Hidup

Jumat, 16 April 2010

Paradigma Sosiologi

1. Pada dasarnya sasaran dari kajian ilmu sosiologi adalah fenomena kehidupan bermasyarakat. Walaupun demikian dalam perkembangannya dari obyek studi yang sama, orang dapat memberikan focus perhatian yang berbeda dan mempunyai sudut pandang yang berbeda pula. Dari kenyataan tersebut dapat dimengerti apabila terdapat pemahaman dan penjelasan yang berbeda terhadap fenomen social tertentu, karena orang berangkat dari focus perhatian dan sudut pandang yang berbeda pula. Salah satu“tema abadi” dalam dunia ilm-ilmu social khususnya ilmu sosiologi adalah tentang realitas social. Menjadi sebuah kebenaran yang tak terbantahkan bahwa realitas social telah menjadi tema yang selalu dikaji oleh hampir semua sosiolog mulai dari yang klasik hingga jaman post-modern. Satu hal yang menarik adalah bahwa selalu ada hal yang menarik dan baru dari realitas social. Kebaruan ini sesungguhnya terjadi karena setiap pemikir selalu melihat dan meninjau realitas social dari susut pandang atau fenomena yang berbeda. Untuk melihat perbedaan ontologism tersebut maka akan dijelaskan pandangan dari beberapa pemikir tentang realitas social. Namun sebelunya pertanyaan pokok adalah, “apa yang dimaksudkan dengan realitas social? Realitas social adalah sesuatu yang lahir dari individu dengan individu lain dalam bentuk saling pemaknaan terhadap yang lain. Bagamana makna ini di jelaskan? Pertama, Max Webber. Max Webber mengartikan realitas social sebagai definisi social. Inti dari definisi ini mengacu pada apa yang ditegaskan oleh Weber sebagai tindakan sosial antar hubungan social. Inti tesisnya adalah “ tindakan yang penuh arti “ dari individu. Yang dimaksudkannya adalah sepanjang sebuah tindakan dikatakan benar tindakannya itu mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Ada tiga teori yang termasuk kedalam paradigma definisi social mnurut Webber ini. Masing-masing : Teori Aksi (action theory), Interaksionisme Simbolik (Simbolik Interactionism), dan Fenomenologi (Phenomenology). Salah satu gagasan utama Webber adalah tentang rasionalisasi.

Ketiga teori diatas mempunyai kesamaan ide dasarnya bahwa menurut pandangannya : manusia adalah merupakan aktor yang kreatif dari realitas sosialnya. Selain itu dalam ketiga pembahasan ini pula mempunyai cukup banyak kebebasan untuk bertindak diluar batas kontrol dari fakta sosial itu. Sesuatu yang terjadi didalam pemikiran manusia antara setiap stimulus dan respon yang dipancarkan, menurut ketiga teori ini adalah merupakan hasil tindakan kreatif manusia. Dan hal inilah yang menjadi sasaran perhatian paradigma definisi sosial. Sehingga secara umum dapat dikatakan bahwa penganut ketiga teori yang termasuk kedalam paradigma definisi sosial ini membolehkan sosiolog untuk memandang manusia sebagai pencipta yang relatif bebas didalam dunia sosialnya.

Disini pula terletak perbedaan yang sebenarnya antara paradigma definisi sosial ini dengan paradigma fakta sosial. Paradigma fakta sosial memandang bahwa perilaku manusia dikontrol oleh berbagai norma, nilai-nilai serta sekian alat pengendalian sosial lainnya. Sedangkan perbedaannya dengan paradigma perilaku sosial adalah bahwa yang terakhir ini melihat tingkah laku manusia sebagai senantiasa dikendalikan oleh kemungkinan penggunaan kekuatan (re-enforcement). Secara khusus paradigm fakta social di bahas oleh Durkheim. Bagi Durkheim, realitas social merupakan sebuah fakta social. Bagi Durkeim, fakta social dibayangkan sebagai kekuatan atau force. Fata social aalah setiap cara bertindak baik yang telah baku maupun tidak baku yang dapat melakukan pemaksaan dari luar terhadap indvidu atau cara bertindak yang umumnya meliputi keseluruhan masyarakat tertentu sekaligus memiliki eksistensi sendiri terlepas dari manivestasi individual. Jadi fakta social adalah struktur yang bersifat eksternal dan memaksa individu. Contoh yang diangkat oleh Durkheim misalnya contoh bunuh diri. Menurutnya penyebab utama fenomena bunuh diri adalah sifat dan perubahan fakta social misalnya perang, depresi ekonomi yang dapat menciptakan perasaan depresi kolektif yang selanjutnya dapat meningkatkan angka bunuh diri. Dalam kajiannya tentang fakta social, Durkheim membedakan dua tipe fakta social, fakta social material dan fakta social non material. Secara khusus Durkheim menaruh perhatiannya pada fakta social non material seperti kultur dan institusi ketimbang pada fakta social material seperi birokrasi dan hukum. Dalam konteks fata social non material inilah Durkheim membuat perbandingan antara masyarakat organic dan masyarakat mekanis. Fakta social merupakan sesuatu yang tidak dapat direduksikan ke fakta individu, melainkan memiliki exixtensi yang independen pada tingkat social. Dengan demikian fakta social merupakan milik bersama buka sifat individu.

Selain Durkeim dan Webber, tokoh lain yang juga mengkaji tentang realitas social adalah George Simmel. Menurutnya realitas social adalah perilaku social yaitu tindakan berulang yang dilakukan oleh manusia yang disebabkan oleh konstitusi social. Artinya ada tindakan yang berpola karena factor genetis dan respon stimulus yang datang dari luar diri. Menurut Simmel, respon stimulus inilah yang disebut sebagai realitas social.

George Ritzer meneruskan apa yang diajarkan oleh Durkheim tentang fakta social. Menurutnya ada 2 fakta social yang mendeterminasi manusia Yang pertama adalah struktur social, yaitu susunan dari kumpulan individual. Yang kedua adalah Role of the Game, realitas nilai dan norma yang padanya individu mengikutinya.

Dalam pandangan kaum Post Strukturalisme, realitas social adalah bukan terletak pada yang ada di dalam dinamika masyarakat, melainkan terletak pada wacana-wacana yang berkembang pada masyarakat. Dengan demikian yang dimaksudkan dengan realitas social dalam pandangan post-sturkturalis adalah “Social Discoursces” atau wacana social. Dalam rangka memahami wacana social tersebut, perlulah diketahui sign atau penanda, karena realitas social ada dalam teks atau percakapan sehingga perlu dipahami apa yang disebut dengan nama “analisis wacana”.

Kesimpulannya, perbedaan ontologism tentang realitas social dalam pandangan sosiologi klasik dan modern dengan sosiologi post modern dan post structural terletak pada obyek dari realitas social. Dalam pandangan sosisologi klasik dan modern, obyek realitas social adalah nilai-nilai serta norma-norma baik norma hukum atau kultur yang sifanya mendeterminasi dan mempengaruhi manusia dari luar. Manusia tidak dapat menghindari “tekanan” atau pengaruh yang mengikat tersebut. Sedangkan dalam pandangan post modern dan post struktralisme, realitas social merupakan hasil dari sebuah proses perubahan yang diciptakan manusia sendiri dan berpengaruh terhadap hidup manusia namun tidak mengikat. Artinya realitas social dipahami sebagai produk asli dari percakapan dan wacana yang dimulai, tumbuh ditengah-tengah dan berpengaruh terhadap manusia sendiri. Bedanya adalah realitas sosial dalam pandangan klasik dan modern bersifat memaksa dan mengikat sedangkan dalam post strukturalisme tidak bersifat memaksa dan tidak mengikat namun manusia juga tidak dapat mengelak dari pengaruhnya.

2. Sebelum menjelaskan tentang Paradigma Definisi Sosial, akan djelaskan terlebih dahulu arti paradigma. Paradigma dalam disiplin intelektual adalah cara pandang seseorang terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam pola berpikir (kognitif), pola bersikap (afektif), dan pola bertingkah laku (konatif). Paradigma juga dapat berarti seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktek yang di terapkan dalam memandang realitas dalam sebuah komunitas yang sama, khususnya, dalam disiplin intelektual. Dalam buku The Structure of Scientific Revolution (1962), Oleh Thomas Kuhn konsep paradigma digunakan untuk menunjukan pola pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan manusia. Pada dasarnya lewat bukunya iitu, Thomas Kuhn hendak membuktikan sesat anggapan lama yang meyakini bahwa ilmu pengetahuan manusia berkembang secara linear, akumulatif dan gradual. Bagi Kuhn, anggapan bahwa ilmu pengetahuan berkembang secara linear dan gradual sesungguhnya tidak tepat. Sebaliknya, bagi Kuhn, ilmu pengetahuan manusia berkembang secara revolusioner yang ditandai dengan pembongkaran atau penjungkirbalikkan pada struktur paradigma itu sendiri. Dengan kata lain, keberadaan paradigma yang menjadi penggerak dari pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan manusia. Dalam prosesnya, pergantian suatu paradigma ke paradigma yang baru seringkali terjadi dengan cara-cara yang revolusioner. Cara-cara yang revolusioner adalah cara dimana suatu paradigma yang telah mapan sebagai cara pandang dalam ilmu pengetahuan manusia di”ganti” secara mendasar dengan paradigma baru, sehingga paradigma yang lama secara perlahan kehilangan relevansi, baik secara intelektual maupun sosial. Dalam ilmu sosiologi salah satu paradigm yang terkenal adalah paradigma definisi social.

Paradigma definisi sosial dibangun fondasinya oleh Max Weber, seorang sosiolog
berkebanggaan Jerman. Berbeda dengan batasan sosiologi yang dikembangkan
Durkheim, bagi Weber, sosiologi adalah ilmu sosial yang bersifat interpretatif.
Sosiologi bagi Max Webber adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki makna-makna subyektif dari sebuah proses interaksi sosial timbal balik untuk memahami
implikasi-implikasi yang dilahirkannya. Karena itu, ilmu sosiologi yang
dimaksudkan oleh Webber dikenal juga sebagai sosiologi subyektif.
Dalam pandangan Peter Berger, ilmu sosiologi yang dimaksudkan oleh Webber,
menunjukkan obyek penyelidikan yang berhubungan dengan konstruksi makna-makna sosial sebagai sebuah kenyataan sosial tersendiri. Makna-makna subyektif yang lahir sebagai hasil dialektika antara diri dan kenyataan eksternal inilah yang
disebut sebagai sisi subyektif dari kenyataan sosial.

Dengan perkataan lain, kenyataan sosial tak semata berada di luar kesadaran manusia. Akan tetapi kenyataan sosial itu mengendap dalam struktur kesadaran subyektif manusia dan mempengaruhi dirinya dalam berperilaku. Endapan kognitif dari kenyataan sosial pada diri individu juga turut membentuk peta kognitif uang membuat dirinya mampu menafsirkan perubahan situasi sosial. Definisi diri atas situasi menjadi sesuatu yang sangat penting untuk diselidiki dalam kasus interaksi sosial yang bersifat dualistik. Beberapa aliran teoritik penting yang tergolong dalam rumpun paradigma definisisosial adalah teori interaksionisme simbolik dan teori fenomenologi. Teori interaksionisme-simbolik misalnya berpandangan bahwa kenyataan social sesungguhnya merupakan susunan lambang-lambang yang menyembunyikan makna-makna dibaliknya. Interaksi sosial antara manusia di mediasi oleh lambang-lambang atau sistem lambang (simbol), seperti bahasa, mode berpakaian, kitab hukum, dan lainnya. Tanggung jawab sosiolog untuk menafsirkan dan memahami lambang-lambang itu.

Pandangan Webber in diteruskan oleh Herbert Mead. Meneurtnya ada dua symbol signifikan yang sangat berperan dalam proses pemaknaan symbol-simbol. Pertama, pikiran (mind). Oleh Mead, pikiran didefinisikan sebagai proses percakapan dengan diri sendiri. Pikiran merupakan fenomena social. Pikiran muncul dan berkembang dalam proses social dan merupakan bagian integral dari proses social. Kedua, diri (self). Diri menurut Mead merupakan kemampuan untuk menerima diri sendiri sebagai obyek. Diri adalah kemampuan untuk menerma diri sendiri sebagai obyek. Diri mensyaratkan proses social yaitu komunikasi antar manusia. Diri muncul dalam aktivitas dan antara hubungan social.

Dalam perkembangannya kemudian dikembangkan dalam pemikiran post modern seperti Anthony Giddens. Menurutnya definisi social masyarakat tentang peralihan dari jaman modern ke post modern menimbulkan banyak ersoalan dala hidup manusia. Ada banyak akibat negative yang diderita oleh manusia dalam panser raksasa yang bernama modernitas. Menurut Giddens, ada dua alasan utama kegagalan tersebut. Pertama, karena kesalahan dalam dunia modern. Artinya orang yang merencanakan unsure-unsur dunia modern membuat kesalahan. Selain itu – dan ini alasan kedua- kegagalan operatornya. Masalahnya ukan hanya pada perencana tetapi mereka yang menjalankan dunia modern tersebut. Gidens justru member pada dua factor lain yaitu, akibat tak diharapkan dan refleksitas pengetahuan social. Artinya konsekwensi tindakan dari seuah sisitem, tidak pernah dapat diramalkan sepenuhnya dan pengetahuan bar uterus menerus memberangkatkan system social menuju arah baru. Giddens juga setuju dengan pentingnya peran yang dimainkan gerakan social dalam menanggulangi resiko dunia modern dan menunjukan kita kearah kehidupan masyarakat.

Tema tentang definisi social tersebut dilanjutkan dalam kajian para pemikir hyper modern seperti Lyotard. Yang dimaksudkan dengan hypermodernitas ialah pelampauan terhadap kondisi post modern. Kondisi masyarakat hipermodernitas adalah kondisi yang nampak dalam tiga proses utama yaitu proses produksi, proses konsumsi dan proses distribusi. Dalam ketiga konsisi ini, Lyotard mengatakan bahwa ketiga proses ini bukan lagi didasarkan atas kebutuhan manusia, melainkan diproduksi saja sebanyak-banyaknya dalam jangka waktu tertentu dengan asumsi bahwa masyarakat pasti akan membeli atau menggunkannya. Disini, proses produksi, konsumsi dan distribusi bukan didorong oleh kebutuhan pasar, meliankan oleh hasrat untuk berproduksi terus. Hal ini berarti bahwa aktifitas manusia dalam 3 aspek tadi bukan lagi di kuasai oleh ratio, melainkan libido. Oleh karena itu Lyotard menyebutnya ekonomi libido.

3. Pemahaman asli Marx tentang struktur dan proses ekonomi, didsarkan atas hasil analisisnya tentang kapitalisme di zamannya (pertengahan abad 20) yang dapat kita bayangkan sebagai kapitalisme kopetatif. Indrustri kapitalis relative tergolong kecil. Akibatnya tidak ada industri tunggal atau sekelompok kecil industry yang dapat mengendalikan pasar sepenuhnya dan tanpa persaingan. Kebanyakan pemikiran ekonomi Marx didasarkan atas premis (yang memang akurat dizamannya) bahwa kapitalisme adalah sebuah system kompetitif. Marx memang membuat ramalan tentang kemungkinan munculnya system monopoli di masa datang, tetapi komentarnya mengenai hal ini hanya singkat. Kebanyakan teoritisi Marxian terus berpikir seakan-akan kapitalisme tetap banyak persamaannya dengan kapitalisme di zaman Marx.

Kapitalisme monopoli dalam suatu hal berarti pengandalian satu atau sedikit kapitalis terhadap sector ekonomi tertentu. Jelas dalam kapitalisme kompetitif organisasi usaha bersaing atas dasar harga; artinya kapitalis berupaya menjual barang lebih banyak dengan menawarkan harga lebih rendah. Dalam kapitalisme monopoli perusahaan tidak lagi bersaing dengan cara seperti itu karena satu atau beberapa perusahaan mengendalikan pasar, kompetisi bergeser ke bidang penjualan. Periklanan, pengemasan, dan metode lain yang bertujuan menarik minat konsumen potensial adalah bidang utama kompetisi.

Singkatnya latar belakang munculnya teori structural konflik didasarkan proses pemiskinan dunia ketiga sebagai akibat dari kapitalisme dunia barat. Gagasan dasarnya adalah bahwa manusia sebagai mahkluk hidup memiliki sejumlah kepentingan yang apling mendasar dan yang paling diinginkan untuk kelangsungan hidup. Namun kebutuhan ini tidak sepenuhnya bisa tercipta karena adanya domunasi ihak yang sat kepada pihak yang lain. Dengan ini dikenallah apa yang dalam pemikiran Marx dikenal dengan istilah “kelas social”ada kelas pemilik modal atau borjuis dan kelas pekerja/ buruh atau proletar. Konteks relasi kaum buruh dan proletar ini dipenuhi dengan adanya dominasi dan eksploitasi. Adanya dominasi dan eksploitasi ini disebabkan oleh adanya perb edaan kepemilikan atas tanah atau benda-benda material.

Dalam era modern, teori structural konflik dibangun atas 2 landasan utama yaitu: struktur social dan keteraturan social. Menurut pandangan Dahendorlf konflik bisa terekspresi karena dua keentn gan, yaitu kepentingan latent atau tersembunyi dan kepetingan manifest. Kepetingan laten merupakan kepentingan yang di tentukan bagi seseorang karena karena dia menduduki peran tertentu. Dia juga bisa merubah yang latent tersebut menjadi manifest.

Collins menegaskan bahwa ada tiga alasan utama yang bisa menyebabkan terjadinya konflik yaitu wealth, prestige dan power. Konflik terjadi karena , pertama, semua masyarakat pasti megejar ketiga hal tersebut. Artinya setiap individu memiliki keinginan untuk tidak hanya memiliki salah satu atu salah dua, namun memiliki ketiga-tiganya. Kedua, didasarkan atas asumsi bahwa pada dasarnya setiap orang tidak ingin diperintah. Umumnya mereka selalu menghindari pihak-pihak lain dengan cara yang terbaik. Upaya untuk mengejar ketga hal diatas sebenarnya didorong oleh keingina untuk tidak mau diperintah. Konflik terjadi jia jumlah hal diatas terbatas dan yang mengingininya banyak. Akibatnya yang menkmati hanya kelompok tertentu, yang lain tidak.

Adapun sumber-sumber daya dalam konflik dalam konteks pemikiran modern adalah: kepemilikan dan sumber daya teknis dalam bentuk kepemilikan kekayaan, alal-alat dan terutama adalah senjata. Selain itu kemampuan negosiasi untuk mendapatkan barang dan menjual kemampuan untuk memaksakan solidaritas emotional.

Apa yang dibahas dalam jaman modern ini dilanjutkan dalam kajian yang berbeda oleh para pemikir post strukturalis. Adalah sosiolog Itay, Antonio Gramsci. Jika dalam pandangan klasik hingga modern dikatakan bahwa eksploitasi yang dialami oleh kelompok manusia tertentu, umunya dilakukan atau terjadi dalam ranah ekonomi. Gramsci menegaskan bahwa ekploitasi, sebenarnya atau tidak selamanya terjadi atau berbasis pada bidang ekonomi atau material tetapi terjadi juga secara kultural. Istilah yang digunakan oleh Gramschi adalah “hegemoni”. Menurutnya hegemoni adalah kepemimpinan cultural oleh kelas penguasa. Hal ini membuat sehingga kelas penguasa atau rezim bisa menyetir kesadaran warganya sehingga perlakukan eksploitasi itu tak disadari oleh warga negara. Selain karna disstir oleh penguasa, alasan lain yang menyebabkan ketaksadaran warga masyarakat adalah karena upaya hegemoni tersebut dilaksanakan dengan menggunakan symbol-simbol. Menurut Antonio Gramschi, baik ekxploitasi material maupun eksploitasi dengan menggunakan sombol atau wacana, keduanya menimbulkan kesadaran palsu. Jadi – berhubungan lagi dengan realitas social – wacana atau symbol merupakan sebuah realitas social dan tidak terletak pada dinamika masyarakat semata.

Pandangan ini diteruskan oleh Foucalt. Ide dasar dari Foucalt adalah bahwa kekuasaan sama dengan pengetahuan. Artinya menurut dia, jika orang memiliki pengetahuan, maka kekuasaan bisa dikreasi dan bisa diproduksi. Dalam hal ini Foucalt mengadopsi pemikiran Nietzsche tentang hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan.

4. Teori Struktuasi

Di sana, di Kepulauan Kei, pada April dan Juni 1999 telah meledak dua kerusuhan yang tak kalah besar dan mengerikan dengan yang terjadi di Ambon. Tercatat sekitar 200 korban jiwa, ratusan lainnya menderita luka parah atau ringan, sekitar 4000 bangunan rusak atau hancur dan sekitar 30.000 orang mengungsi di puluhan bangsal atau penampungan sementara. Dan di sana pula antara Juli 1999 sampai Februari 2000 telah berlangsung suatu proses rekonsiliasi yang berhasil menghentikan kerusuhan dan konflik tersebut. Jejak sejarah ini menjadi semakin menarik karena proses rekonsiliasi dilaksanakan (hampir) tanpa campur tangan pihak luar. Seluruh proses dilaksanakan dan dikendalikan sepenuhnya oleh warga masyarakat adat Kei sendiri. Hal ini menimbulkan pertanyaan di banyak kalangan,”Apa sebenarnya yang menjadikan masyarakat Kei berhasil melakukan proses Rekonsiliasi mereka? Jawabannya: ADAT! Secara spesifik : TOKOH-TOKOH ADAT. Yang ingin saya jelaskan disini bagaimana Teori Strukturasi (meskipun tidak disadari oleh mereka) dilaksanakan dengan sangat baik oleh para tokoh adat di Kei dalam upaya penyelesaian konflik dan rekonsisliasi pasca kerusuhan. Namun pertama-tama saya akan menjelaskan gagasan-gagasan dasar dalam Teori Strukturasi.

Gagasan kunci dari teori strukturasi adalah individu yang oleh Giddens disebut human agent”. Istilah ini menjadi subject matter dari teori ini. Gagasan dasarnya adalah masyarakat bukan realitas obyektif yang begitu saja ada, tetapi dibentuk oleh tindakan-tindakan anggota. Selain itu tindakan membentuk suatu masyarakat adalah tindakan dari agen dan struktur. Makna agent disini menunjuk pada watak individu.

Agen atau individu dalam teori Strukturalisme memiliki aspek inheren tentang apa yang mereka lakukan dan kapasitas mereka dalam memahami apa yang mereka lakukan ketika sedang melakukan sesuatu. Menurut Giddens sebagai pencetus teori ini, setiap manusia merupakan agen yang bertujuan, karena sebagai individu dia memiliki dua kecenderungan yaitu memiliki alasan untuk tindakan-tindakannya dan mengelaborasi alasan-alasan ini secara terus menerus dan berulang karena tindakannya adalah tindakan yang bertujuan, bermaksud dan bermotif. Upaya damai yang diperjuangkan oleh para tokoh adat di Kei, merupakan tindakan yang harus dilakukan karena kapasitas mereka yang memungkinkan, serta pemahaman mereka terhadap apa yang mereka lakukan yakni sesuai dengan hukum adat. Selain itu, meskipun menghadapi pelbagai halangan dan tantangan, namun mereka melakukannnya secara terus menerus dan berulang, karena tujuan, maksud dan motif baik yang melandasi pekerjaan mereka.

Ada beberapa sifat dari agen menurut Giddens.

1. Memonitor dengan sangat cermat dan terus menerus aktivitas mereka sendiri dan mengharapkan pihak-pihak lain bertindak seperti dirinya. Para tokoh adat dalam mengupayakan proses damai tersebut, dengan sangat teliti menjaga dan mengontrol tindakan mereka agar tidak menyimpang dari ketentuan adat. Selain itu mereka tidak henti-henti menyerukan kepada masyarakat untuk menaati apa yang mereka lakukan.

2. Bukan hanya memonitor tidakan mereka tapi juga memonitor aspek-aspek fisik dan social dari konteks tempat mereka bergerak. Dalam kontekas ini, para tokoh adat di Kei selalu memantau keadaan fisik masyarakat yang terlibat konflik dan memastikan bahwa tidak akan ada lagi konflik susulan. Oleh karena itu sebelum mereka berpindah tempat, mereka selalu memantau dengan seksama konteks dan upaya damai yang telah mereka buat.

3. Tindakan yang dilakukan harus dipikirkan dengan matang. Tidak boleh ada tumpang tindih atau overlapping.

4. Selalu memberikan pemahaman kepada pihak lain apa landasan tindakan mereka dan selalu mampu menjelaskan jika ada pertanyaan tentang hal yang mereka lakukan. Upaya rekonsiliasi dan perdamaian oleh tokoh adat Kei, dilakukan dengan sangat luar biasa. Mereka dengan sangat lugas dan cermat menjelaskan pentingnya perdamaian dan rekonsiliasi, bukan dengan bahasa yang ilmiah tapi dengan bahasa adat. Mereka juga dapat menjelaskan dan menjawab semua pertanyaan yang diajukan kepada mereka, terutama tentang tujuan, motivasi dan arah tindakan mereka.

Selain human agent, gagasan pokok lain dalam teori strukturasi adalah gagasan tentang struktur. Gagasan pokok tentang struktur ini adalah:

1. Struktur merupakan sifat-sifat terstruktur yang mengikat semua orang secara rung dan waktu dan dilaksanakan secara sistemik. Upaya damai di Kei mengikuti sturktur dasar dari Hukum Adat Larwul Ngabal khususnya point”Ain ni Ain” dan “ Ken Sa Faak”. Ungkapan yang pertama berarti “Kita adalah Satu” Dalam berbagai kesempatan ungkapan inilah yang paling banyak dikutip. Makna dari kedua ungkapan ini adalah: kebersamaan seluruh orang kei untuk saling melindungi, menjaga dan bukan saling merusak atau membunuh atau menyerang. Dalam alam kesadaran orang Kei, ungkapan ini memang menjadi dasar utama untuk menjamin rasa aman dan nyaman bagi semua orang yang berada di Kei -termasuk pendatang- serta menjadi landasan untuk menyelesaikan semua jenis perselisihan dan persengketaan diantara masyarakat Kei. Ungkapan “Ain ni ain”, misalnya mengandung pengertian semua orang Kei menjadi suatu kesatuan karena hubungan-hubungan sejarah ( tidak selalu mesti behubungan darah atau perkawinan) yang mewujud dalam bentuk-bentuk seperti pakta persaudaraan (tea/tom bel atau yang dikenal luas dengan istilah pela), perjanjian persahabatan (fangnanan roa nangan) antara ketiga lapisan social masyarakat Kei (Mel, Ren, Iri), perjanjian persaudaraan ibarat saudara kandung antara dua marga (rahan dek fwar); dan sebagainya. Ungkapan diatas menjadi salah satu doktrin utama adat Kei dan memungkinkan bahkan mengharuskan dan mewajibkan agar pihak-pihak yang terikat dalam hubungan sejarah atau perjanjian tersebut untuk harus saling menghormati, tidak boleh saling menyakiti, saling menghargai serta selalu siap untuk membantu atau menolong dalam segala kesulitan yang dihadapi oleh salah satu pihak terutama dalam keadaan kesulitan pangan, dalam hal perang, dalam hal sakit penyakit, ataupun dalam pekerjaan-pekerjaan berat yang membutuhkan banyak tenaga kerja.

Sedangkan ungkapan “Ken sa Faak” Tidak mudah untuk menerjemahkan ungkapan diatas kedalam bahasa lain termasuk bahasa Indonesia karena struktur kata dan kalimat dalam bahasa Kei yang sangat rumit. Namun saya akan mencoba menerjemahkan secara harafiah sebagai berikut, “Dua (salah atau benar) dengan dua (pihak yang bertikai) adalah (jika dijumlahkan) tetap empat”. Maksudnya kedua pihak sebenrnya sama-sama memiliki kesalahan sekaligus kebenarannya masing-masing. Dengan kata lain inti ungkapan ini adalah pengakuan secara sadar dari kedua belah pihak yang bertikai terhadap kesalahannya sendiri dan pada saat bersamaan pengakuan terhadap kebenaran yang ada pihak lain lainnya.

Ungkapan “Ken sa Faak” ini penuh dengan metafora, oleh karena itu untuk memahaminya secara lengkap, dibutuhkan penjelasan lanjutan yang merupakan “turunan’ dari ungkapan diatas.

a. Vhah neknub naa tdid oot, na doot endit naa tdid telwungan (Air menggenangi perahu (tempat) kita, hujan merembesi bubungan bocor (sehingga) membasahi rumah tempat hidup kita).

Perahu dan rumah dalam tradisi Kei adalah perlambang ruang kehidupan yang membentuk pola-pola hubungan khas antar penumpang perahu atau penghuni rumah sebagai satu keluarga. Ketenangan akan terganggu jika perahu atau rumah itu bocor. Air akan menerobos masuk menjadi banjir yang akan merusak banyak atau bahkan semua isinya. Dan kebocoran ini jelas bukan sesuatu dikehendaki oleh setiap penghuni rumah yang waras kapanpun dan dimanapun. Kebocoran ini dibuat oleh sesuatu atau seseorang diluar kehendak atau pengetahuan mereka. Akibatnya, orang-orang yang berada diatas perahu atau dalam rumah akan saling menuduh, melempar tanggung jawab, saling mempersalahkan, dan akhirnya bisa saling berkelahi.

b. Vhis il fo Mas bad (Perlunya pihak ketiga sebagai penengah atau penghubung yang berusaha mempertemukan mereka yang (telah terlanjur) bertikai tersebut agar memulihkan kembali hubugan-hubungan diantara mereka seperti sediakala ibarat emas).

Disini pihak penengah berperan mempertemukan kembali kedua pihak agar dapat memperbaiki kembali “perahu bocor” yang mereka tumpangi dan “bubungan rumah bocor” yang mereka diami bersama. Dalam pengertian ini, mereka saling memperbaiki kembali hubungan-hubungan diantara sesame penumpang perahu atau penghuni rumah yang sama sebagi satu keluarga yang berasal dari satu sumber yang sama. Dalam keadaan konflik, biasanya yang berperan atau yang memiliki kewenangan seperti itu adalah para pemangku adat (Raja, Orang Kay, Kepala Soa) dan pemimpin marga (Seniri, Yamad Aad Rahan Riin). Mereka menduduki jabatan adat tersebut karena kefahaman dan pengetahuan mereka tentang sejarah dan pola-pola hubungan kekerabatan dalam masyarakat Kei.

c. Vhis tai nemnem fo mas (Bersama-sam membungkus, mengemas memperbaiki kembali semua kerusakan sampai benar- benar menjadi utuh dan bernilai kembali). Setelah mempertemukan kedua pihak dan terjadi kepahaman dan kesepakatan maka semuanya berupaya untuk memperbaiki dan memulihkan segala sesuatu yang yang telah rusak, baik itu perahu maupun rumah agar kebali indah. Puncak acara ini adalah suatu ritus simbolik pembelahan daun kelapa putih (wer vhiak hawear) sebagai pertanda bahwa permasalahn telah selesai bersama tenggelamnya matahari di ufuk barat. Pada tahap inilah makna ungkapan ken sa faak itu terjadi.

d. Toil u ne it savhak muir (Menatap kedepan dan menoleh ke belakang).

Tahapan terakhir dari ken sa faak adalah proses refleksi pasca rekonsiliasi. Pada tahap ini semua pihak yang telah menyepakati perdamaian diharapkan memiliki kesadaran baru untuk bertindak hati-hati dimasa depan (menatap kedepan) dengan berpegang pada pengalaman yang baru saja dilalui (menoleh kebelakang).

Uraian singkat mengenai pengertia dasar ken sa faak diatas dengan jelas memperlihatkan bahwa salah satu kosep adat kei ini memiliki unsur-unsur yang dapat disebut sebagai suatu kerangka kerja proses rekonsiliasi yang sangat sistemik dalam pengertiannya yang umum dipahami di seluruh dunia. Teori Strukturasi sama sekali belum dikenal oleh para Tokoh dat Kei, namun apa yang mereka lakukan adalah imementasi dari Teori Strukturasi khususnya tentang human agen dan struktur.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar