Jalan Panjang Ziarah Hidup

Jalan Panjang Ziarah Hidup

Sabtu, 17 April 2010

GERAKAN SOSIAL PADA MASYARAKAT KONTEMPORER

Pendahuluan

Jaman kontemporer menampilkan banyak sekali fenomena-fenomena mutakhir. Fenomena-fenomena tersebut menjadi trend yang hidup dalam masyarakat seiring dengan perubahan-perubahan dan perkembangan dalam masyarakat dalam era globalisasi dan high tekhnologi tersebut. Salah satu fenomen yang mucul dalam masyarakat kontemporer adalah munculnya gerakan-gerakan social dalam masyarakat. Tulisan ini akan mengkaji fenomen gerakan social ini dalam perspektif sosiologi masyarakat kontemporer. Pembahasan akan dimulai dengan memberikan gambaran umum tentang pengertian gerakan social, selanjutnya gerakan social akan diteropong dari pandangan beberapa teorisi. Bagian berkutnya mengenai gerakan social dan modernitas dengan ciri-cirinya, dan diakhiri dengan suatu wacana tentang suatu gerakan social yang baru.

1. Gerakan Sosial; Sebuah Panorama Umum

Pertanyaan utama bagian ini adalah : Apa persisnya gerakan social? Bagi seorang Lorenz Von Stein, pada abad 19, gerakan social pertama-tama merupakan suatu gerakan kelas pekerja. Perubahan social yang terjadi pada abad 20 serta perkembangan dunia akademis telah mengakibatkan perubahan pluralisasi pengertian yang terlepas dari kerangka historisnya. Gerakan social akhirnya digunakan untuk menyebut beragam fenomena dan perilaku kolektif yang tidak terstruktur, mulai dari praktek dan sekte agama sampai pada gerakan protes hingga berbagai revolusi yang terorganisasi. Satu-satunya kesamaan atau titik temu dari macam-macam pengertian tersebut adalah gerakan social merupakan kelompok-kelompok yang bersifat tidak melembaga dari berbagai anggota masyarakat yang tidak terwakili yang bergerak dalam alur interaksi yang berseberangan dengan elit atau pihak oposisi. Riset membuktikan bahwa gerakan social memiliki dua sumber utama dalam sejarah yaitu dalam Revolusi Perancis dan Revolusi Industri serta munculnya gerakan social pada akhir abad 19. Setelah menurunnya pengaruh anarkisme dan kekerasan dan munculnya bargaining kolektif terbentuklah gerakan-gerakan yang memerangi anggapan bahwa gerakan social bersifat tidak rasional. Pengertian lain dapat diberikan di sini. Gerakan social atau dalam bahasa Inggris social movement diartikan sebagai aktivitas social berupa gerakan atau tindakan sekelompok orang atau secara individu dalam kelompok informal melalui wadah atau organisasi tertentu, yang berfokus pada pada suatu isu social atau politik dengan cara melaksanakan atau menolak dan atau mengkampanyekan sebuah perubahan social.

Jika kita melihat kebelakang, dalam sejarah manusia modern banyak ditemukan gerakan-gerakan sipil. Misalnya Gerakan Buruh yang menandai masyarakat industry pada abad 19 dan awal abad 20. Kemudian yang lebih baru pada tahun 1960-an banyak negara di Barat mengalami gerakan social penting dalam bentuk gerakan hak-hak sipil dan gerakan perdamaian. Sedangkan di Dunia Ketiga gerakan kemerdeaan nasional bermunculan. Sepanjang tahun 1970-an dan 1980-an gerakan social berkembang di seluruh Amerika Utara, dan Eropa dalam bentuk gerakan wanita untuk memperjuangkan kesetaraan gender, gerakan ekologi, gerakan anti nuklir dan perdamaian serta gerakan otonomi daerah. Di tempat lain muncul gerakan fundamentalis yang menekankan kekhususan cultural. China pada tahun 1989 merasakan gerakan demokratisasi yang kemudian ditindas dan di Eropa Timur gerakan rakyat menggulingkan rezim komunis. Banyak gerakan social menentang struktur institusional, cara hidup dan pemikiran, norma dan moralitas. Dalam kenyataannya gerakan social terkait erat dengan perubahan social dan beberapa ciri masyarakat kontemporer adalah akibat dari aksi gerakan social ini.

Secara umum gerakan social terdiri dari gerakan reformasi dan gerakan radikal. Gerakan reformasi dimaksudkan untuk mengubah norma, hukum atau paham tertentu. Pada saat ini bentuk gerakan seperti ini misalnya gerakan serikat buruh dengan tujuan untuk meningkatkan hak-hak pekerja, Gerakan Hijau yang memperjuangkan hukum-hukum perlindungan terhadap alam atau ekologi, gerakan untuk mendukung atau menolak hukuman mati dll (cfr. Gerakan reformasi di Indonesia). Sedangkan gerakan radikal adalah gerakan yang dimaksudkan untuk merubah dengan segera suatu system nilai dengan melakukan perubahan secara substansial dan mendasar. Contoh gerakan ini dalam perjalanan sejarah manusia dapat terlihat pada Perjuangan atau Gerakan Hak-hak Sipil di Amerika yang menuntut persamaan hak-hak sipil bagi rakyat Amerika secara penuh tanpa adanya pembedaan terutama ras. Contoh lain adalah Gerakan Solidaritas di Polandia oleh kaum buruh, atau yang paling sensasional misalnya Perjuangan Penghapusan politik Apartheid dibawah pimpinan Nelson Mandela di Afrika Selatan.

Gerakan social bisa dengan atau tanpa kekerasan. Yang tanpa kekerasan misalnya seperti yang terjadi di Amerika dan Polandia. Sedangkan yang dengan kekerasan misalnya Gerakan Sipil yang didukung oleh Tentara Pembebasan Nasional Zapatista di Kolumbia. Selain itu focus atau target dari gerakan sosial juga bisa terarah pada pribadi atau pada kelompok (umumnya pihak yang sedang berkuasa). Jika gerakan diarahkan pada kelompok maka biasanya bertujuan untuk menganjurkan perubahan sistem politik, namun jika gerakan itu diarahkan pada pribadi maka dimaksudkan untuk mempengaruhi cara berpikir atau keputusan-keputusan mengenai suatu permasalahan yang berhubungan dengan hajat hidup bersama.

2. Gerakan Sosial dalam Perpektif Beberapa Teori Sosiologis

Pertama, Marxisme. Teori Marx menegaskan bahwa dimasyakat industry, gerakan social dan revolusi berasal dari kontradiksi structural utama antara capital dan buruh. Merka adalah actor-aktor utama dalam konflik social ini. Ketidakpuasan yang dialami oleh kaum buruh inilah yang akhirnya memunculkan gerakan social yang bertujuan memperjangkan nasib mereka.

Kedua, Interaksionisme. Simmel (1908), memahami konflik sebagai sebuah proses interaksi. Pada tahun 1920an, Mashab Chicago melalui teori interaksionalisme simbolik juga mengadopsi pemikiran Simmel ini untuk mempelajari tentang perilaku kolektif dan gerakan social. Berdasarkan asumsi bahwa individu dan kelompok orang bertindak berdasarkan espektasi bersama dan bahwa gerakan social muncul dari suatu situasi yang tak terstruktur atau “chaos”. Suatu situasi dimana hanya ada sedikit pedoman cultural bersama atau pedoman itu berantakan dan harus didefinisikan kembali. Menurut teori ini, gerakan social adalah ekspresi kolektif dari rekonstruksi situasi social tersebut. Jadi gerakan social adalah “usaha kolektif untuk menciptakan tatanan kehidpan yang baru (Blummer, 1939).

Ketiga, fungsionalisme structural. Ada tiga varian dalam model gerakan social menurut teori fungsionalis structural. Pertama, teori masyarakat massa. Teori ini mempostulatkan individu sebagai yang teratomisasi (Kornhauser, 1959), Karena tercabut dari akarnya akibat perubahan social yang cepat, urbanisasi dan hilangnya ikatan tradisional, terisolasi dari relasi kelompok dan kelompok normative, maka individu didalam masyarakat massa bebas dan cenderung berpartisipasi dalam jenis kelompok baru seperti gerakan social. Kedua, teori tekanan sturktural. Teori ini memandang bahwa penyebab utama kemunculan gerakan social adalah terganggunya keseimbangan dari system social (Smelser, 1962). Nonkorespondensi antara nilai-nilai yang dianut dengan praktek masyarakat actual, tertutupnya fungsi institusional, elemen disfungsional yang mengganggu kelangsungan system, semuanya merupakan hal-hal yang dapat mengganggu keseimbangan system social, memicu ketegangan structural dan kemudian memacu gerakan social. Ketiga, teori deprivasi relative. Teori ini merupakan salah satu “turunan” psikologi social dari teori tekanan. Tekanan ini bukan diakibatkan oleh diskrepansi structural tetapi berasal dari perasaan subyektif: yaitu ketika orang merasa gagal menggapai harapannya. Kebutuhan yang terpenuhi tidak sesuai dengan yang diharapkan. Perbaikan kondisi ekonomi dan politik yang membesarkan harapan dalam kelompok, akan mudah memunculkan gerakan social apabila realitas tampak tidak sesuai dengan harapan. Ketidakpuasan dan frustrasi akan bermunculan. Inilah yang menyebabkan gerakan social.

Keempat, Neo-utilitarian. Asumsi dasar teori ini adalah bahwa gerakan social berkembang dari aktivitas organisasional apabila mereka berhasil memobilisasi sumber daya material dan simbolis seperti uang, waktu dan legitimasi. Gerakan social dijelaskan dalam term kesempatan, strategi, mode komunikasi dan kompetisi dengan kelompok dan otoritas yang memiliki kepentingan yang saling bertentangan.

3. Gerakan Sosial dan Modernitas

Secara historis gerakan sosial adalah fenomena universal. Rakyat di seluruh masyarakat manusia tentu mempunyai alasan untuk bergabung dan berjuang untuk mencapai tujuan kolektif mereka dan menentang orang yang menghalangi mereka mencapai tujuan itu, sebagaimana telah dijelaskan pada awal pembahasan ini. Strategi dan taktik gerakan di semua zaman itu telah berkembang, namun kebanyakan pengamat sependapat bahwa hanya dalam masyarakat modernlah "era gerakan sosial benar-benar dimulai". Hanya di abad 19 dan 20 gerakan sosial telah menjadi begitu banyak, besar, penting dan besar akibatnya terhadap jalannya perubahan. Pengamat kontemporer menyatakan ”Masyarakat yang sangat modern cenderung menjadi masyarakat gerakan" (Neidhardt & Rucht, 1991)

Gerakan sosial adalah bagian sentral modernitas. Gerakan sosial me­nentukan ciri-ciri politik modern dan masyarakat modern. Gerakan sosial berkaitan erat dengan perubahan struktural mendasar yang telah terkenal sebagai modernisasi yang menjalar ke bidang "sistem" dan kehidupan dunia.

Ada beberapa alasan yang menyebabkan gerakan sosial di zaman modern lebih menonjol dan lebih signifikan. Alasan ini didasarkan pada pandangan para pakar klasik abad 19 tentang ciri modernitas sebagai berikut

a. Alasan pertama disebut "Tema Durkheim". Kecenderungan kepadatan penduduk di kawasan sempit terjadi bersamaan dengan urbanisasi dan industrialisasi dan menghasilkan kepadatan moral penduduk yang besar. Kepadatan ini membuka peluang lebih baik untuk mengadakan kontak dan interaksi untuk mengembangkan kesamaan, pandangan, ideologi bersama. Singkatnya, peluang mobilisasi dan gerakan sosial sangat meningkat.

b. Gambaran modernitas lain adalah yang disebut "Tema Tonnies", yakni atomisasi dan isolasi individu dalam Gesellschaft yang bersifat impersonal. Riesman menyebutnya "kerumunan yang kesepian". Keterasingan, kesepian, dan penjungkirbalikan nilai menimbulkan idaman terhadap komunitas, solidaritas, dan kebersamaan. Keanggotaan gerakan sosial menyediakan pengganti yang memuaskan bagi kebutuhan manusia yang universal itu.

c. Tema Marxian. Peningkatan ketimpangan sosial yang belum pernah terjadi sebelumnya, dengan perbedaan kekayaan, kekuasaan, dan preiII yang sangat tajam ini menimbulkan pengalaman dan kesan eksploitasi, penindasan, ketidakadilan, dan perampasan hak yang menggerakan permusuhan dan konflik kelompok. Orang yang kepentingan tersembunyinya terancam, siap untuk bertempur melawan orang yang membahayakan mereka. Ketimpangan struktural yang merangsang timbulnya gerakan sosial tampak lebih nyata ketimbang yang pernah ada sebelumnya.

d. Tema Weberian. Transformasi demokratis sistem politik membuka peluang bagi tindakan kolektif massa rakyat. Pengungkapan perbedaan pendapat, artikulasi kepentingan tersembunyi dan kegiatan mempertahankannya menjadi hak yang syah dan tanggungjawab selaku warga negara makin diharapkan. Peluang kemunculan gerakan sosial berkadar politik akan berubah secara radikal.

e. Gambaran yang disebut Tema Comte dan Saint Simon. Mereka menekankan modernitas pada penaklukan, kontrol, dominasi, dan manipulasi realitas: mula-mula terhadap realitas alam dan akhirnya juga terhadap realitas masyarakat manusia. Keyakinan bahwa perubahan sosial dan kemajuan tergantung pada tindakan manusia, bahwa masyarakat dapat dibentuk oleh anggotanya untuk keuntungan mereka sendiri, merupakan syarat ideologis penting untuk aktif dan untuk mobilisasi dan gerakan sosial.

f.

Masyarakat modern mengalami peningkatan pendidikan dan mempunyai kultur umum. Partisipasi dalam gerakan sosial membutuhkan kesadaran, imajinasi, kepekaan moral, dan perhatian terhadap masalah publik dalam derajat tertentu serta kemampuan menggeneralisirnya dari pengalaman pribadi dan lokal. Kesemuanya ini berkorelasi positif dengan tingkat pendidikan. Revolusi pendidikan yang menyertai penyebaran kapitalisme dan demokrasi, memperluas tumpukan potensi anggota gerakan sosial.

g. Kemunculan dan penyebaran media massa. Media massa merupakan instrumen yang sangat kuat untuk mengartikulasikan, membentuk, dan menyatukan keyakinan, merumuskan dan menyebarkan pesan ideologis, serta membentuk pendapat umum. Media massa memperluas cakrawala pandangan rakyat melampaui dunia pribadi mereka menuju pengalaman kelompok, kelas, dan bangsa lain yang herjauhan letak geografisnya. Ini menimbulkan dua akibat: pertama, Keterbukaan cakrawala ini menciptakan "efek demonstrasi" penting yakni peluang untuk membandingkan kehidupan masyarakat sendiri dan kehidupan masyarakat lain. Kesan ketidakadilan yang merugikan yang disertai perasaan "terampas” menyediakan latar belakang psikologis yang kondusif bagi gerakan sosial. Kedua, melalui media massa orang juga belajar mengenai keyakinan, sikap, dan keluhan politik orang lain. Ini me­mungkinkannya untuk menaksir tingkat keburukan keadaan bersama, untuk mengakhiri "kedunguan" atau kekeliruan bersama, menghilangkan keyakinan bahwa is sendiri yang merasa tak senang dan sengsara. Media massa pun membangkitkan solidaritas, loyalitas, dan konsensus yang berkembang melampaui lingkaran sosial yang ada sebelumnya. Perasaan adanya masalah bersama dan solidaritas yang melampaui batas lokal ini merupakan syarat sosio-psikologis lainnya untuk kemunculan gerakan sosial. ketidakpuasan. Apakah gerakan sosial mampu melakukan hal ini nantinya akan bergantung pada kapasitas organisasionalnya.

4. Gerakan Sosial Baru di Era Modernisasi?

Beberapa teoretisi sosial meng­gunakan istilah "gerakan sosial baru" untuk menyebut variasi besar dari gerakan-gerakan sosial sepanjang 1970-an dan awal 1980-an di Barat. Secara umum, gerakan-gerakan ini membentuk jaringan kontestasi dan gaya hidup alternatif, tetapi mereka juga mema­suki politik resmi misalnya Green Movement.

Apa yang membuat gerakan sosial ini baru? Kebanyakan ahli memandangnya dalam term perilaku kolektif konfliktual yang membuka ruang kultural dan sosial baru. Gerakan sosial baru dilihat sebagai ins­titusi masyarakat sipil yang dipolitisasi, dan karenanya mendefinisikan ulang batas-batas politik institusional (Claus Offe); sebagai cara baru memahami dunia dan menentang aturan kultural dominan berdasarkan alasan simbolik (Alberto Melucci); sebagai pencip­taan identitas baru yang berisikan tuntutan yang tak bisa dinegosiasikan (Jean L. Co­hen); sebagai ekspresi proses pembelajaran kolektif revolusioner (Klaus Eder); sebagai artikulasi sosial baru yang mengkristali­sasikan pengalaman dan persoalan baru yang dialami dan dihadapi bersama, sebagai akibat dari disintegrasi umum pengalaman berbasis kelas ekonomi (Ulrich Beck). Arti penting yang diberikan oleh semua rumusan di atas kepada gerakan sosial baru adalah bahwa gerakan sosial itu mendapatkan kesa­daran baru akan kapasitasnya untuk mem­produksi makna baru dan bentuk kehidupan dan tindakan sosial yang baru. Penjelasan sistemaris mengenai reflektivitas gerakan sosial ini dapat dijumpai dalam paradigma rasionalitas komunikasi. Proses rasionalisasi komunikasional dalam kehidupan dunia di sini dianggap sebagai ciri menonjol dari modernitas, yang paralel dengan proses ra­sionalisasi sistemik (Habermas, 1981). Didalam kerangka teoritis, gerakan sosial diletakkan dalam dua perspektif. Sehapi ekspresi rasionalisasi komunikasional, ge­rakan sosial baru mempertanyakan validi­tas pola kehidupan dunia yang sudah ada, seperti norma dan legitimasi, dan kemudian memperluas ruang publik. Pada saat yang sama, sebagai gerakan defensif, gerakan sosial baru menentang gangguan patologis terhadap kehidupan dunia, yang dikolonisa­sikan berdasarkan mekanisme politik dan ekonomi sistemik yang membatalkan proses komunikasi.

Dalam perspektif sosiologi tindakan, pandangan-pandangan yang kompleks dan men­dalam tentang gerakan sosial bertujuan mengintegrasikan berbagai macam pendekat­an menjadi representasi umum demi memperjuangkan kehidupan sosial yang lebih baik (Touraine, 1973). Menurutnya, pusat dari kehidupan sosial adalah perjuangan permanen dalam menggunakan teknologi baru dan kontrol sosial atas kapasitas masyarakat itu sendiri. Karena alasan ini, gerakan sosial, yang dipandang sebagai agen konflik, merupakan perhatian utama bagi ilmuwan sosial.

Penutup

Pembahasan ini hendak menegaskan tentang kompleksitas permasalahan dalam masyarakat kontemporer ini. Salah satunya adalah dengan munculnya berbagai macam gerakan social. Pembahasan tema-tema gerakan social akan dibahas dalam diskusi selanjutnya.

@@@@@@@@@@@

Daftar Pustaka

Scott, A., Ideology and the New So­cial Movements. Blacwell Piblishing, 1990.

William Outwaite (ed), Pemikiran Sosial Modern, Jakarta: Kencana, 2008.

Adam Kuper and Jesica Kuper (eds)., The Social Sciences Encyclopedia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.

Sztompka Piotr. , Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta, Prenada, 2008

George Ritzer – Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Kencana, 2008.

Robert H. Lauer., Perspektif Tentang Perubahan Sosial, Jakarta: Rineka Cipta, 2003.

Margaret M. Poloma., Sosiologi Kontemporer, Jakarta: Grafindo, 2007.

@@@@@@@@

Konsep Fundamental Dalam Studi Perubahan Sosial

Pengantar.

Tulisan ini merupakan rangkuman dari bab pertama buku Sosiologi Perubahan Sosial, yang ditulis oleh Piotr Sztompka. Secara umum isi bab pertama ini mendeskripsikan tentang dasar dan konsep-konsep penting yang mendasar atau fundamental tentang studi perubahan social. Berikut laporan atau rangkuman dari bab pertama tersebut.

· Beberapa Teori Tentang Perubahan Sosial

1. Pendekatan Klasik tentang Perubahan Sosial.

Berbicara mengenai pandangan tokoh-tokoh klasik, tidak dapat dipisahkan dari orang-orang atau tokoh-tokoh tertentu, antara lain Auguste Comte (1798-1857) dan Herbert Spencer (1820-1903). Bapa sosiologi, Comte, mengungkapkan pandangannya mengenai perubahan social dengan dengan membaginya menjadi dua bagian terpisah yakni Statika Sosial dan dinamika Sosial. Statika social mempelajari anatomi masyarakat yang terdiri dari bagian-bagian dan susunaya seperti mempelajari anatomi tubuh manusia yang terdiri dari organ, keragka dan jaringaan. Dinamikan social memusatkan perhatian pada aspek psikologi yakni proses yang berlangsung dalam masyarakat seperti berfungsinya tubuh (pernafasan, sirkulasi darah) dan menciptakan hasil akhir berupa perkembangan masyarakat yang dianalogikan dengan pertumbuhan organic (dari embrio ke kedewasaan). Implikasinya adalah masyarakat dibayangkan dalam keadaan tetap yang dapat dinalisis sebelum terjadi atau terlepas dari perubahan social.

Berdasarkan perbedaan yang dibuat oleh Comte, Spencer menganalogikan masyarakat dengan organism biologis. Jadi terminologinya saja yang dirubah. Spencer membedakan antara struktur dan fungsi. Struktur menandai susunan internal yakni bahwa masyarakat merupakan satu kesatuan. Sedangkan fungsi menandai cara beroperasi atau perubahannya. Konsekwensinya adalah masyarakat dibayangkan sebagai kesatuan yang utuh atau obyek yang terlepas dari opeasinya. Dengan kata lain, kemungkinan untuk memisahkan struktur dan fungsi makin diperkuat.

2. Teori Sistem Talcol Parson (1902-1979)

Parson dalam teori system mengatakan bahwa perubahan social adalah perubahan dalam atau mencakup suatu sistem social dalam jangka waktu tertentu. Sistem dianalogikan oleh Parson merupakan suatu kesatuan yang kompleks yang terdiri dari pola-pola hubungan yang mirip dengan suatu organisme karena organism merupakan contoh seuah system. Oleh Parson system ini diterapkan pada manusia dengan berbagai tingkat kompleksitasnya baik pada tingkat makro (masyarakat dunia), tingkat menengah atau mezo (nation-state, regional), dan tingkat mikro (komunitas local, perusahaan atau keluarga). Begitu pula segmen tertentu dalam masyarakat seperti aspek ekonomi, politik dan budaya dapat disebut pula sebagai suatu system.

Jadi menurut Parson, berbicara tentang perubahan, berarti berbicara tentang sesuatu perubahan yang terjadi dalam jangka waktu tertentu, ada perbedaan yang diamati, antara keadaan sebelum dan sesudah waktu tertentu. Jadi ada tiga gagasan utama yakni; perbedaan, pada waktu yang berbeda dan dalam keadaan system social yang sama. Perubahan social dalam konteks teori system menurut Parson dapat terjadi pada

· Perubahan komposisi (misalnya migrasi, pengurangan penduuk karena kelaparan, bubarnya suatu masyarakat/kelompok).

· Perubahan struktur (misalnya munculnya ikatan-ikatan, kerja sama, kristalisasi kekuatan).

· Perubahan fungsi (misalnya spesialisasi dan diferensiasi pekerjaan, hancurya peran keluarga)

· Perubahan batas (misalnya penggabungan beberapa kelompok, penaklukan)

· Perubahan hubungan subsistem (misalnya penguasaan rezim politik, pengendalian keluarga dan kehidupan privat oleh pemerintah totaliter)

· Perubahan lingkungan (misalnya kerusakan ekologi, gempa bumi).

3. Teori Alternatif; Dinamika Kehidupan Sosial (Alfred Whitehead)

Dalam perkembangannya validitas teori system organic serta dikotomi statika social dan dinamika social mulai diragukan. Ada dua alasan yang menonjol dari keraguan ini. Pertama, penekanan ada kualitas realitas social yang dapat menyebar ke segala arah yakni membayangkan masyarakat dalam keadaan bergerak/berproses. Kedua, tidak memperlakukan masyarakat (kelompok. Organisasi) sebagai sebuah obyek dari realitas social. Alfred Whitehead menyebut bahwa “perubahan merupakan sifat dari sesuatu”. Konsekwensinya masyarakat tidak dapat dibayangkan sebagai keadaan tetap, tetapi sebagai proses; bukan sebagai obyek semu yang kaku tetapi sebagai aliran peristiwa terus menerus tiada henti. Dikatakan bahwa masyarakat (kelompok, komunitas, organisasi, bangsa, negara) hanya dapat dikatakan ada sejauh dan selama terjadi sesuatu didalamnya, ada tindakan tertentu yang dilakukan, ada perubahan tertentu dan ada proses tertentu yang senantiasa bekerja. Secara ontologism, dapat dikatakan bahwa masyarakat tak berada dalam keadaan tetap melainkan terus berubah dengan derajat kecepatan, intensitas, irama dan tempo yang berbeda. Karena kehidupan adalah gerakan dan perubahan, maka bila berhenti maka tak ada lagi kehidupan melainkan merupakan suatu keadaan yang sama sekali berbeda yang disebut ketiadaan atau kematian.

Konsekwensinya adalah, masyarakat tidak lagi dipandang sebagai sebuah system yang kaku atau “keras” melainkan sebagai suatu suatu pola hubungan yang “lunak”. Dalam arti inilah realitas social yang merupakan realitas hubungan antar individu, segala hal yang ada diantara hubungan antar manusia, jaringan ikatan, ketergantungan, pertukaran dan kesetiakawanan dapat dimengerti. Dengan kata lain, realitas social adalah adalah jaringan social yang yang mengikat orang menjadi suatu kehidupan bersama. Jarigan social ini terus menerus berubah mengembang dan mengerut (misalnya kentika individu bergabung atau meninggalkan, menguat atau melemah (ketika dari berkenalan menjadi bersahabat), bersatu dan terpecah dll. Yang terjadi adalah suatu proses yang terjadi terus menerus-menerus. Jadi sebenarnya yang dinamakan masyarakat adalah suatu pembentukan terus menerus ketimbang bentuk yang final, lebih merupakan suatu “strukturalisasi” menurut Giddens ketimbang suatu suatu struktur yang mantap, merupakan suatu pembentukan ketimbang bentuk yang final.

· Tipologi Proses Perubahan Sosial

Untuk dapat memahami masalah perubahan social yang kompleks, diperlukan tipologi proses social. Tipologi ini dapat dibedakan atas 4 kriteria utama yakni (1). Bentuk proses perubahan social yang terjadi; (2). Hasilnya; (3). Kesadaran tentang proses perubahan social didalam kalangan anggota masyarakat yang bersangkutan; (4). Kekuatan yang menggerakan proses perubahan social. Selain keempat tipologi diatas, ada dua hal lain yang perlu diperhatikan dalam proses social adalah tingkat realitas social di tempat proses social itu terjadi dan jangka waktu berlangsungnya proses social.

· Bentuk Proses Sosial

Umumnya proses perubahan social adalah proses yang mengarah atau purposive. Proses yang mengarah atau purposive ini adalah proses yang tidak dapat dirubah dan bersifat kumulatif. Setiap tahap yang berurutan berbeda dari tahap sebelumnya dan merupakan pengaruh gabungan dari tahap sebelumnya. Masing-masing tahap sebelumnya menyediakan syarat untuk tahap selanjutnya. Proses perubahan social ini bisa bertahap dan meningkat sehingga disebut linear. Apabila proses itu mengikuti sasaran tunggal atau melewati rentetan tahap serupa disebut “unilinear”, namun jika mengikuti sejumlah jalan alternatf, melompati beberapa tahap, menggantikan tahap lain atau menambahnya dengan tahap lain yang tidak biasa maka disebut “multilinear”.

Lawan dari proses ini adalah proses yang tak mengarah (berubah-ubah). Proses ini terdiri dari dua jenis: pertama: yang murni acak, kacau tanpa pola yang terlihat, kedua, proses yang mengalun mengikuti pola perulangan yang terlihat atau bahkan hanya mengulangi tahap yang sebelumnya.

· Hasil Akhir Proses Sosial

Persoalan berikutnya adalah mengenai hasil proses social. Jawabannya; proses social biasanya menghasilkan keadaan atau struktur social yang sama sekali baru. Proses social biasanya menghasilkan perubahan mendasar. Buckley (1967), menggunakan istilah morphogenesis. Menurutnya hasilnya dapat ditemukan dalam semua prestasi peradaban yang ditandai dengan terciptanya kelompok, asosiasi, organisasi dan partai politik baru, tersebarnya gaya hidup baru,berkembangnya temuan tekhnologi dslb.

Proses morphogenesis ini berbeda dengan proses social yang hanya menghasilkan perubahan yang kurang radikal dan tanpa perubahan yang mendasar. Proses ini disebut reproduksi sederhana. Proses ini bahkan ada yang tidak menghasilkan perubahan sama sekali. Seringkali hanya berupa perombakan ulang atau pembentukan ulang tatanan social yang sudah ada. Proses ini sifatnya hanya menyesuaikan, menyeimbangkan atau melestarikan, menghasilkan penerimaan kondisi yang sudah ada, mempertahankan status quo serta menjaga kelangsungan hidup masyarakat dalam bentuk yang sama sekali tidak berubah.

Keadaan seperti inilah yang menjadi sasaran perhatian penganut teori structural-fungsional. Mereka selalu memusatkan perhatian pada persyaratan tercipta dan terpeliharanya stabilitas, keteraturan, keselarasan consensus dan keseimbangan (Parsons, 1964).

· Proses Dalam Kesadaran Sosial

Hal penting yang perlu diperhatikan dalam semua perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia adalah kesadaran mengenai perubahan dari pihak yang terlibat dalam proses, terutama kesadaran mengenai yang ditimbulkan oleh proses social tersebut. Ada tiga jenis proses dalam kesadaran social ini. Pertama, proses yang kentara (manifest). Proses ini adalah proses yang disadari, diduga dan diharapkan, misalnya perubahan UU Lalu lintas untuk mengurangi kecelakaan. Kedua, proses laten. Proses ini mungkin tidak disadari, tak diduga dan tak diharapkan. Menurut Merton, laten-nya terletak pada proses itu sendiri dan hasilnya mengagetkan dan tergantung pada penerimaan atau penolakannya, misalnya sejak lama orang tak menyadari kerusakan lingkungan akibat industrialisasi. Yang disebut kesadaran lingkungan adalah fenomena yang relative baru. Ketiga, proses bumerang. Dalam proses ini, orang mungkin menyadari proses social yang terjadi, dapat menduga arahnya dan mengharapkan dampak khususnya, namun semua dugaan ternyata keliru sama sekali. Proses social yang terjadi justru berlawanan dengan harapan mereka dan menimbulkan hal yang sama sekali berlawanan dengan harapan mereka dan menimbulkan hasil yang sama sekali berlainan atau berlawanan. Misalnya, provokasi atau propaganda justru memperkuat sikap orang yang diserangnya dengan memobilisasi pertahanan dan menimbulkan reaksi negative atas propaganda tersebut.

· Tingkatan Proses Sosial

Proses perubahan social terjadi atas tiga tingkatan realitas social yakni: makro, mezzo dan mikro. Proses makro terjadi pada tingkat yang paling luas yakni ditingkat masyarakat global, bangsa atau kawasan. Rentang waktunya lama atau jangka panjang, misalnya proses globalisasi, resesi dunia, kerusakan lingkungan (ozon misalnya), demokratisasi system politik, kemajuan pendidikan dll, (bdk: kuliah SMK).

Proses mezzo mencakup kelompok besar seperti komunitas, asosiasi, partai politik, angkatan bersenjata dan birokrasi. Sedangkan proses mikro terjadi dalam kehidupan sehari-hari individu, kelompok kecil seperti keluarga, sekolah lingkungan kerja atau pertemanan.

Penutup

Kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan ini adalah proses perubahan social terjadi pada setiap aspek kehidupan manusia dalam berbagai tingkatan dan rentang waktu. Rentang waktu dalam suatu proses social banyak jenisnya, mulai dari yang berlangsung dalam jangka waktu sangat pendek, cepat dan sesaat hingga yang memerlukan jangka berabad-abad bahkan ribuan tahun. Demikian pembahasan saya, semoga bermanfaat.

Referensi

Sztompka Piotr, Sosiologi Perubahan Sosial: Terj. Alimandan, Jakarta, Prenada Media Group: 2008.

PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN KOTA

Pendahuluan

Istilah-istilah seperti kota, urban dan urbanisme atau perkotaan merujuk pada berbagai fenomena yang sangat berfariasi sesuai dengan sejarah perkembangan sebuah kota. Banyak disiplin ilmu yang telah mencoba mengembangkan perspektif masing-masing untuk memahami fenomena urban atau perkotaan tersebut. Kita mengenal misalnya antropologi perkotaan, ilmu ekonomi perkotaan, geografi perkotaan dan yang kita pelajari sekarang yaitu sosiologi perkotaan. Berbagai konsepsi mengenai perkotaan ternyata berbeda-beda dalam setiap bahasa. Tulisan ini ingin mengkaji tentang perencanaan dan pemgembangan kota yang efektif, sehingga dapat menjadi locus yang nyaman bagi semua orang. Pembahasan akan dimulai dengan mendefinisikan kota, kemudian sejarah pengembangan dan perencanaan kota kemudian aspek-aspek yang mesti diperhatikan dalam perencanaan kota.

1. Pengertian Kota

Upaya mendefiniskan tentang kota merupakan awal dari sebuah upaya yang panjang dan telah dimulai sejak dahulu. Filsuf terkenal, Plato mendefinisikannya sebagai sebuah pencerminan dari kehidupan dalam ruang jagat yang berdasar pada hubungan manusia dengan sesamanya. Lebih jauh lagi, ia juga mendefinisikannya sebagai sebuah bentuk organisasi sosial dan politis yang memudahkan warganya mengembangkan potensi mereka dan hidup bersama sesuai dengan nilai kemanusiaan dan kebenaran. Bahkan awal dari bentukan kota pun berasal dari sekumpulan manusia yang berkumpul di suatu tempat dan berdiam berdasarkan suatu tujuan (Wikipedia, 2007). Berdasarkan definisi diatas, sehingga dapat terlihat bahwa terdapat beberapa elemen yang sangat berpengaruh dalam upaya pendefinisian kota, yaitu manusia dan ruang.

Sebuah kota adalah sebuah tempat, dimana orang-orang di dalamnya mengidentifikasi diri mereka dengan locus tertentu, serta merupakan kumpulan tempat yang mempunyai berbagai penanda dan kenangan masing-masing. Fustel (1991) menyatakan bahwa “…to learn is to remember, and learning is essentially concerned with signs…”.Saat manusia belajar, dia akan mencerna penanda dari lingkungannya dan mengingatnya terus menerus. Hal ini dapat menjelaskan mengapa manusia dapat mempunyai keterikatan yang erat dengan daerah asalnya, karena telah belajar untuk mengingat dalam rentang waktu yang cukup lama.

Kota menjadi kumpulan memori karena merupakan wadah dari fungsi hidup dasar manusia yang merekam siklus dan daur hidup manusia. Kota adalah tempat manusia hidup dan bertinggal (homo vitae), tempat manusia bekerja atau belajar (ora et labora) , bahkan kota adalah tempat manusia bermain (homo ludens). Sesuai dengan pernyataan Plato di atas, dapat disimpulkan bahwa kota yang baik adalah kota yang mampu memberikan tempat terbaik bagi warganya, untuk melaksanakan fungsi-fungsi dasar hidupnya seperti yang telah disebutkan di atas.

Selain Plato, tokoh lain yang juga memberikan penjelasan atau definisi tentang kota adalah Max Webber yang mengembangkan suatu tipe kota ideal dalam bukunya The City (1958). Apa yang diangggapnya ideal adalah suatu komunitas atau tempat tinggal yang dengan pasar sebagai institusi sentralnya, ditunjang oleh suatu system administrasi dan hukum yang otonom serta menyerupai suatu asosiasi yang merangkum segenap unsure dari kehidupan berkota itu sendiri. Pemikiran Webber ini menurut Ulf Haerness, merupakan suatu urbanisasi yang sangat ketat yang berlatar belakang pada sejarah perkembangan kota-kota di Eropa dari masa kemasa. Webber menambahkan bahwa aspek penting yang menjadi daya tarik urbanisasi tersebut adalah perkembangan tekhnologi di perkotaan.

Perkembangan sebuah kota tak bisa dilepaskan dari perkembangan dan penggunaan teknologi. Hal ini disebabkan karena sebuah kota selalu dihubungkan oleh segenap infrastruktur seperti jalan, pembuangan dan air bersih. Keberadaan infrastruktur tersebut sangat didukung pencapaiannya oleh teknologi yang ada, sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup warganya dengan lebih baik secara kolektif. Elemen penyusun kota, seperti manusia, ruang kehidupan, dan memori-memori ataupun teknologi pendukung tersebut adalah elemen yang sifatnya selalu berkembang. Selalu ada populasi manusia, perkembangan arus budaya yang meningkatkan kumpulan memori dan juga berpengaruh ke ruang hidup manusia, dan tentu kemajuan teknologi pendukung. Hal ini disebabkan karena terdapat perubahan kondisi lingkungan dan perubahan pola pikir masyarakat akibat semakin heterogennya budaya yang didukung oleh kemajuan teknologi. Kultur yang dibentuk masyarakat sekarang dan dulu sudah jauh berbeda karena perkembangan elemen-elemen yang disebutkan di atas tersebut, dan hal itu sangat berpengaruh ke perubahan bentuk kota karena kota mengikuti perkembangan kultur masyarakat atau warganya. Dalam pemikiran sebuah kota, salah satu bagian terpenting adalah adanya sebuah tempat (place) dengan batasan geografis. Untuk pemahaman kota ‘sekarang’, sesungguhnya batasan ini secara kasat mata sifatnya tetap, namun secara psikologis dapat berubah menjadi lebih membaur dan kabur (blur) sifatnya. Perluasan jangkauan teknologi komunikasi dan infrastruktur yang mengakomodasi pergerakan memungkinkan manusia untuk pergi ke tempat yang lebih jauh dan tetap dapat berkomunikasi ke siapapun yang diinginkannya. Bentuk komunikasinya sudah bukan lagi bersifat lokal, namun lebih mengarah ke komunikasi global.

Dapat disimpulkan bahwa perkembangan elemen-elemen penyusun kota dapat mengubah pola perkotaan, dari awalnya memusat (centralized) menjadi menyebar (decentralized). Pengubahan pola perkotaan dan perkembangan elemen-elemen penyusun kota ini juga berpengaruh kepada hal lain selain batas kota, yaitu pergerakan kota (city movement). Pengaruh perkembangan teknologi menantang pergerakan warga kota baik secara fisik maupun non-fisik. Hal ini penting bagi kehidupan berkota, sebab cara menikmati pengalaman berkota ‘sekarang’ yang paling baik adalah dialami sambil bergerak, sehingga dapat menikmati dan merasakan kumpulan memori-memori yang tersusun melalui elemen kota yang berfungsi mendukung kehidupan manusia, baik melalui bangunan, alam, maupun infrastruktur, yang ketiganya kemudian berintegrasi dalam membentuk suatu pengalaman dalam sebuah ruang kota

Dari penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat paling tidak dua hal yang sangat penting untuk pencarian definisi kota ideal ‘sekarang’, yaitu batas ruang berkehidupan kota (bukan secara kasat mata atau fisiologis, namun berupa pengalaman secara psikologis), serta pergerakan berkota. Seperti yang telah dijelaskan di atas, dua hal ini pun sangat dipengaruhi oleh perkembangan manusia, ruang kehidupan manusia, budaya dan perkembangan teknologi yang juga saling berkaitan satu dengan yang lainnya yang kemudian membentuk bentuk kota ideal ‘sekarang’.

Secara geometris, menarik bahwa bentuk (form) kota ideal ‘sekarang’ didasarkan pada bentukan yang cukup dinamis, karena berdasarkan pertumbuhan elemen kota.Dalam proses pem’bentuk’an kota, terdapat interaksi antara elemen-elemen kota, yang sifatnya sangat unik satu sama lain, sehingga membentuk suatu bentukan organic. Bentuk organik ini salah satunya muncul karena dipengaruhi perluasan jangkauan pergerakan dalam kehidupan berkota, yang sifatnya tumbuh dan menyebar, bukan terkungkung dalam batasan yang kaku. Kota juga terbentuk dan tumbuh karena hubungan dan interaksi antar elemennya yang telah disebutkan tadi, yaitu jaringan infrastruktur; bangunan dan ruang terbuka, dimana dalam konteks ‘sekarang’ hubungan dan interaksi tersebut terus menerus meluas dan menciptakan ruang demi ruang kehidupan yang sama sekali baru, baik secara fisik maupun psikologis. Bahkan secara struktural dan hierarki pembentukan kota, bentuk ini ideal karena menggeneralisasi fungsi dan aturan yang ada sehingga seluruh bagian dapat berfungsi dengan baik dalam tingkatan yang sama dan mempunyai keunikan masing-masing, sesuai dengan bagian lingkungannya masing-masing.

2. Pengembangan dan Perencanaan Kota.

Perencanaan perkotaan sama tuanya dengan peradaban. Kota-kota antik merefleksikan pengagungan terhadap para penguasa dan ber­bagai kebutuhan militer dan keagamaan mereka. Kota pertama yang berisi kelas pekerja dirancang untuk melayani para buruh dalam rangka mem­bangun sebuah piramida kerajaan Mesir. Pengaruh­pengaruh yang lebih demokratik masuk bersama­an dengan agora Yunani dan forum Romawi. Teknologi hidrolik selalu berpengaruh besar ter­hadap perencanaan perkotaan sejak kerajaan­kerajaan kuno Mesir dan Mesopotamia, hingga pembangunan kota-kota besar di negeri Belanda. Perencanaan kota-kota besar abad pertengahan ditata dengan dinding-dinding dan benteng­bentengnya. Para pendiri koloni dan markas mi­liter memberikan banyak contoh mengenai kota hasil perencanaan.

Sejak akhir Abad Pertengahan, dukungan para penguasaa, perusahaan-perusahaan milik sau­dagar dan tuan tanah memberi kemungkinan pada para arsitek untuk mencipta atau memugar banyak kota besar yang terkenal. Beberapa contohnya adalah karya Bernini dan rekan-rekan­nya di Roma, dua bersaudara Woods di Bath, Craig di Edinburg dan kota-kota besar bergaya barokh di Jerman dan Austria.

Revolusi industri dan berbagai kota besar yang tumbuh pesat dan tidak beraturan telah mengubah ciri perencanaan perkotaan secara sangat radikal. Perencanaan berkembang melalui tiga jalur yang berbeda tetapi terkait satu sama lain.

Pertama, regulasi penggunaan tanah yang terperinci menjadi ciri banyak kota lama, tapi regulasi ini menjadi tidak populer selama kurun waktu industrialisasi laissez-faire pertama. Ma­salah-masalah kesehatan dan sanitasi memaksa diterimanya hukum dan aturan pembangunan me­ngenai lebarnya jalan dan penataan perumahan. Kemudian, diberlakukan undang-undang skema perencanaan yang memisahkan antara penggu­naan tanah yang tidak sesuai, kepadatan peru­mahan, tanah cadangan untuk ruang terbuka dan untuk tujuan-tujuan umum lainnya.

Tipe perencanaan higienis ini sejak lama dikri­tik karena merusak "keragaman yang kaya" dalam kehidupan perkotaan. Pengaruh protektif dari hukum pembagian zona ini terasa paling kuat di pemukiman kelas-atas daerah pinggiran. Di termpat lain, kontrol perencanaan dipertahankan tetap fleksibel oleh tekanan dari pasar tanah pribadi. Kondisi seperti ini terutama terjadi di Amerika Serikat, di mana tata kota regular untuk lapangan olahraga justru mendorong spekulasi tanah, dan di mana aturan pertama tentang pembagian zona untuk New York membolehkan jumlah maksi­mum penduduk sebanyak 365 juta orang. Se­baliknya, pembangunan diawasi sangat ketat di negeri Belanda, dan beberapa negara Eropa lain­nya, tetapi fragmentasi kepemilikan tanah dan adanya nilai-nilai spekulatif telah memperbesar kendala bagi perencanaan dan juga bagi parti­sipasi.

Upaya-upaya politik sudah dilakukan untuk memungut pajak dan mengawasi nilai-nilai pem­bangunan demi mendorong perencanaan; misal­nya, di Inggris ada tiga upaya semacam itu antara tahun 1945 dan 1980. Upaya-upaya ini berhasil membatasi kompensasi perencanaan, sehingga membantu melindungi wilayah-wilayah pedesaan dan tanah-tanah subur di sekelilingnya, tetapi kurang berhasil dalam mengupayakan perbaikan atau pembaharuan perkotaan. Beberapa negara di Eropa, terutama setelah Perang Dunia II, telah memadukan dan merealokasikan kepemilikan ta­nah untuk membantu pembangunan kembali. Namun implementasi rencana-rencana itu tergan­tung pada inisiatif swasta atau pun pemerintah. Untuk mengefektifkannya, perencanaan peme­rintah memerlukan kebijakan-kebijakan yang terpadu dan koordinasi yang rumit, dan di kalang­an masyarakat Barat perubahan perkotaan sema­kin tergantung pada kepentingan bisnis dan keuangan.

Kedua, tradisi arsitektur historis berlanjut terus melalui cara-cara baru. Kota-kota besar modern biasanya tidak didominasi lagi oleh karya-karya besar yang bersifat publik, kecuali di negara-negara otokratik atau dalam kasus-kasus khusus seperti Brasilia. Perencanaan jalan raya akhirnya lebih berpengaruh atau bahkan dominan terhadap di­sain kota-kota besar. Rangkaian bulevar buatan Haussmann telah merestrukturisasi Paris, yang umumnya dimaksudkan untuk mengendalikan kerumunan orang. Gerakan "kota indah" — yang diwakili oleh rencana Burnham untuk Chicago — mencakup berbagai boulevar, taman dan museum tetapi tidak memperdulikan ghetto-ghetto ku­muh di belakang wajah kota itu. Parkways (jalan raya dengan jalur hijau di tengahnya) memadu­kan antara jalan raya dan taman, yang kadang­-kadang memberikan pemandangan indah. Robert Moses dari New York berkarya melalui upaya me­ngaitkan perencanaan dengan koordinasi terha­dap karya-karya publik. Disain-disain monumen­tal untuk kota-kota besar masa depan — seperti karya Le Corbuiser — merupakan bagian dari tradisi arsitektur historis, tapi tampaknya hanya bisa diwujudkan melalui proyek-proyek khusus.

Ketiga, telah muncul berbagai pembangunan publik yang terencana seperti kota-kota baru di Inggris, Canberra di Australia dan banyak contoh lain. Kota-kota ini menyiratkan berbagai praktek masif dalam pembangunan kawasan umum, yang meneruskan berbagai tradisi kuno untuk pengelolaan tanah milik pribadi atau perusahaan. lntinya adalah pemilikan publik atas tanah, bila dipadukan dengan pemberian tanggung jawab secara luas bagi pembangunan kota di tangan lembaga kekuasaan yang sama. Pembangunan Stockholm pasca-perang — ketika kota itu memi­liki paling banyak tanah kosong, membiayai atau menyediakan paling banyak perumahan, dan memiliki serta mengembangkan sistem transpor­tasi — adalah contoh yang baik dari perencanaan komprehensif bagi pertumbuhan perkotaan. Ba­nyak kota lain di Eropa dan Inggris memiliki potensi yang sama, meskipun jarang yang begitu lengkap. Perubahan-perubahan iklim politik — dan pergantian pemerintah kota yang kuat de­ngan sistem metropolitan dua tingkat — men­jelang tahun 1980 telah mengakhiri era peren­canaan kota dan mesin-mesin pembangunan (Self 1982). Perencanaan komprehensif oleh badan-badan ad hoc seperti korporasi kota baru juga terbukti mengandung kerentanan politik.

Pembangunan-pembangunan publik yang terencana sering mampu menyempurnakan stan­dar sosial dan lingkungan dan memberikan akses yang lebih baik terhadap berbagai fasilitas bagi orang usia lanjut, remaja belasan tahun, dan istri­-istri yang bekerja; tetapi pembangunan itu juga menerapkan konsep teknokratik pada para peng­guna pasif. Ada banyak kegagalan dalam skema-­skema pembangunan kembali (redevelopment schemes), yang menyebabkan pertumbuhan ting­gi perumahan yang tidak populer, pengabaian kelalaian terhadap fasilitas-fasilitas sosial, dan di Amerika Serikat pengusiran orang-orang miskin secara ekstensif demi kepentingan pembangun­an ekonomi yang disubsidi.

Profesi perencanaan kota secara historis dido­minasi oleh para arsitek tetapi dalam perkembang­annya makin banyak memanfaatkan keahlian para insinyur, ahli penilai, ekonomi, sosiolog, dan lain-lainnya. Perencanaan regional — salah satu perhatian khusus para ahli geografi — memiliki anti yang makin penting. Perencanaan terkait erat dengan fungsi-fungsi besar lainnya, seperti perumahan — pada masa lampau, dan terutama akhir-akhir ini — dengan transportasi. Terdapat banyak silang pendapat mengenai pendidikan ter­baik bagi seseorang perencana kota, dan menge­nai kemungkinan pemisahan peranannya dari tugas manajemen perkotaan secara umum.

Perkembangan perencanaan modem banyak dipengaruhi oleh para penulis imajinatif seperti Geddes, Mumford (1961), dan para idealis praktis seperti Ebenezer Howard dan Sir Frederic Osbom, yang memprakarsai dua buah kota kebun. Konsep­konsep pertumbuhan berimbang, pembatasan ukuran perkotaan, masyarakat-masyarakat baru, dan proteksi pedesaan adalah penting bagi kema­juan besar dalam kekuatan-kekuatan perenca­naan kota setelah tahun 1940. Berbagai ideal sosial — meskipun dikalahkan oleh tuntuan­tuntutan pasar — tetap penting bagi perencana­an dan juga bagi para perencana profesional.

Sistem-sistem perencanaan makin kompleks, karena sering melibatkan sejumlah pedoman nasional, rencana penataan regional, rencana subregional atau distrik, dan rencana lokal yang rinci. Rencana yang beragam ini kadang-kadang menimbulkan konflik dan sering mengundang oleh para pengembang balk dari pemerintah mau­pun swasta. Perencanaan telah membangun tek­nik-teknik yang rumit untuk meramalkan dan merancang model, dan makin terfokus pada pengarahan dan pemantauan kecenderungan­kecenderungan ekonomik dan sosial yang tidak wajar.

Namun demikian, corak perencanaan perko­taan tetap sangat politis dan reflektif terhadap nilai-nilai dominan dalam suatu masyarakat. Di berbagai sistem komunis, pemerintah mempu­nyai kekuasaan yang besar terhadap perencana­an, tetapi sering diterapkan secara monolitik yang mengabaikan hak-hak swasta. Di negara­-negara demokratik kapitalis, perencana bisa men­jadi seorang spesialis dalam regulasi pengguna­an tanah, atau seorang generalis yang lemah dalam mengartikulasikan kepentingan masyara­kat. Banyak yang sudah ditulis tentang berbagai ketidaksederajatan spasial di kota dan dominasi kepentingan-kepentingan kapitalis (Harvey 1973).

3. Beberapa Aspek Penting dalam Perencanaan dan Pengembangan Kota

Masyarakat perkotaan atau juga sering disebut urban community adalah suatu konsep atau pengertian tentang sekelompok masyarakat yang tinggal di kota dan dengan penekaan pada sifat-sifat kehidupannya serta cirri-ciri kehidupannya yang berbeda dengan mayarakat pedesaan. Perhatian khusus masyarakat kota tidak terbatas pada aspek-aspek seperti pakaian, makanan dan perumahan, tetapi mempunyai perhatian lebih luas lagi.

Ada beberapa ciri-ciri yang menonjol pada masyarakat kota, yaitu: pertama soal ketergantungan. Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain. Yang terpenting disini adalah masyarakat perorangan atau individu. Pembagian kerja di antara warga-warga kota juga lebih tegas dan mempunyai batas-batas yang nyata. Kemungkinan untuk mendapat pekerjaan juga lebih banyak diperoleh warga kota daripada warga desa.Jalan pikiran rasional yang pada umumnya dianut masyarakat perkotaan, menyebabkan bahwa interaksi-interaksi yang terjadi lebih didasarkan pada faktor kepentingan daripada faktor pribadi. Jalan kehidupan yang cepat di kota-kota, mengakibatkan pentingnya faktor waktu bagi warga kota, sehingga pembagian waktu yang teliti sangat penting, untuk dapat mengejar kebutuhan-kebutuhan seorang individu. Perubahan sosial tampak dengan nyata di kota, sebab kota biasanya terbuka dalam menerima pengaruh-pengaruh dari luar.

Selain ciri-ciri umum diatas, ada beberapa karakter lain yang menjadi ‘trade mark” kota jika dibandingkan dengan desa. Aspek-aspek tersebut adalah: pertama, jumlah dan kepadatan penduduk. Meskipun tidak ada ukuran pasti, kota memiliki penduduk yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan desa. Hal ini mempunyai kaitan erat dengan kepadatan penduduk. Kepadatan penduduk ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap pola pembangunan perumahan. Kedua, lingkungan hidup.. Lingkungan hidup di pedesaan sangat jauh berbeda dengan di pekotaan. Lingkungn pedesaan terasa lebih dekat dengan alam bebas. Udaranya bersih, sinar matahari cukup, tanahnya segar diselimuti berbagai jenis tumbuh-tumbuhan dan berbagai satwa yang terdapat sela-sela pepohonan. Air yang menetes, memancar dari sumber-sumber dan kemudian mengalir melalui anak-anak sungai mengairi petak-petak persawahan. Semua ini sangat berbeda dengan lingkungan perkotaan yang sebagian besar dilapisi beton dan aspal. Bangunan-bangunan yang menjulang tinggi. Udara yang terasa pengap karena tercemar asap buangan cerobong pabrik dan kendaran bermotor. Kota sudah terlalu banyak mengalami sentuhan teknologi, sehingga kadang-kadang memasukkan sebagian alam kedalam rumahnya, baik yang berupa tumbuh-tumbuhan bahkan mungkin hanya gambarnya saja.

Ketiga, mata pencaharian. Perbedaan yang sangat menonjol adalah pada mata pencaharian. Kegiatan utama penduduk desa berada di sektor ekonomi primer yaitu bedang agraris. Kehidupan ekonomi terutama tergantung pada usaha pengelolaan tanah untuk keperluan pertanian, peternakan dan termasuk juga perikanan darat. Sedangkan kota merupakan pusat kegiatan sektor ekonomi sekunder yang meliputi bidang industri, disamping sektor ekonomi tertier yaitu bidang pelayanan jasa. Jadi kegiatan di desa adalah mengolah alam untuk memperoleh bahan-bahan mentah untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia. Sedangkan kota mengolah bahan-bahan mentah yang berasal dari desa menjadi bahan setengah jadi atau mengolahnya sehingga berwujud bahan jadi yang dapat segera di konsumsi. Keempat, corak kehidupan sosial. Corak kehidupan sosial di desa dapat dikatakan masih homogen. Sebaliknya di kota sangat heterogen, karena disana saling bertemu berbagai suku bangsa, agama, kelompok dan masing-masing memiliki kepentingan yang berlainan. Kelima, Stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial kota jauh lebih kompleks daripada di desa. Misalnya saja mereka yang memiliki keahlian khusus dan bidang kerjanya lebih bamyak memerlukan pemikiran memiliki kedudukan lebih tinggi dan upah lebih besar daripadamereka yang dalam sisitem kerja hanya mampu menggunakan tenaga kasarnya saja. Hal ini akan membawa akibat bahwa perbedaan antara pihak kaya dan miskin semakin menyolok. Keenam, mobilitas social, Mobilitas sosial di kota jauh lebih besar daripada di desa. Di kota, seseorang memiliki kesempatan besar untuk mengalami mobilitas sosial, baik vertikal yaitu perpindahan kedudukan yang lebih tinggi atau lebih rendah, maupun horisontal yaitu perpindahan ke pekerjaan lain yang setingkat. Ketujuh, interaksi sosial. Pola-pola interaksi sosial pada suatu masyarakat ditentukan oleh struktur sosial masyarakat yang bersangkutan. Karena struktur sosial dan lembaga-lembaga sosial yang ada di pedesaan sangat berbeda dengan di perkotaan. Maka pola interaksi sosial pada kedua masyarakat tersebut juga tidak sama. Kedelapan, Solidaritas social, solidaritas sosial pada kedua masyarakat ini pun ternyata juga berbeda. Kekuatan yang mempersatukan masyarakat pedesaan timbul karena adanya kesamaan-kesamaan kemasyrakatan. Sebaliknya solidaritas masyarakat perkotaan justru terbentuk karena adanya perbedaan-perbedaan dalam masyarakat. Kedelapan, kedudukan dalam hierarki sistem administrasi nasional. Kedudukan dalam hierarki sistem administrasi nasional, kota memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada desa. Di negara kita misalnya, urut-urutan kedudukan tersebut adalah : ibukotanegara, kota provinsi, kota kabupaten, kota kecamatan dan seterusnya. Semakin tinggi kedudukan suatu kota dalam hierarki tersebut, kompleksitasnya semakin meningkat, dalam arti semakin banyak kegiatan yang berpusat disana.

Selain itu masyarakat atau penduduk kota merupakan satu komunitas. Yang dimaksudkan dengan komunitas adalah suatu kelompok teritorial di mana penduduknya menyelenggarakan kegiatan-kegiatan hidup mereka sepenuhnya. Ciri-cir dari suatu community seperti penduduk kota adalah: Pertama, berisi kelompok manusia; Kedua, menempati suatu wilayah geografis; Ketiga, mengenal pembagian kerja kedalam spesialisasi dengan fungsi-fungsi yang saling tergantung; Keempat, memiliki kebudayaan dan sistem sosial bersama yang mengatur kegiatan mereka; Kelima, para anggotanya sadar akan kesatuan serta kewargaan mereka dari community; dan keenam, mampu berbuat secara kolektif menurut cara tertentu.

Selain ciri-ciri diatas, pemahaman penduduk kota sebagai satu komunitas juga dapat diperjelas dibagi menjadi empat jenis community: Pertama, Rural; Fringe, Town; dan Metropolis. Sedangkan kondisi-kondisi yang diperlukan bagi suatu kota (city) adalah: Pertama, pembagian kerja dalam spesialisasi yang jelas; Kedua, organisasi sosial lebih berdasarkan kelas sosial dari pada kekeluargaan; Ketiga, lembaga pemerintah lebih berdasarkan teritorium daripada kekeluargaan; Keempat, suatu sistem perdagangan dan pertukangan; Kelima, mempunyai sarana komunikasi dan dokumentasi; dan Keenam, berteknologi yang rasional. Kota di dunia Barat masih terbagi atas jenis town dan city, dan masing-masing disebut coraknya menurut fungsi dominan, sehingga ada kota pertambangan, tangsi, pemerintahan, pendidikan, perdagangan, industri, turisme, dan sebagainya.

Tadi sudah dijelaskan diatas bahwa kota memiliki struktur soaial yang sangat berfariasi. Struktur sosial dari kota dapat dilihat dari beberapa gejala berikut: Pertama, heterogenitas sosial, kepadatan penduduk mendorong terjadinya persaingan dalam pemanfaatan ruang; Kedua, hubungan sekunder, jika hubungan antar penduduk di desa disebut primer, di kota disebut sekunder; Ketiga, kontrol (pengawasan sekunder), di kota orang tak mempedulikan peri laku pribadi sesamanya; Keempat, toleransi sosial, orang-orang kota secara fisik berdekatan, tetapi secara sosial berjauhan; Kelima, mobilitas sosial, di sini yang dimaksud adalah perubahan status sosial seseorang; Keenam, ikatan sukarela, secara sukarela orang menggabungkan diri ke dalam perkumpulan yang disukainya; Ketujuh, Individualisasi, merupakan akibat dari sejenis atomisasi, orang dapat memutuskan apa-apa secara pribadi, merencanakan kariernya tanpa desakan orang lain; dan kede;apan segregasi keruangan, akibat dari kompetisi ruang terjadi pada pola sosial yang berdasarkan persebaran tempat tinggal atau sekaligus kegiatan sosial-ekonomis.

Penutup

Perencanaan perkotaan yang efektif tergan­tung pada paduan antara regulasi publik dan inisiatif publik. Makin lama makin penting untuk mengatasi persoalan-persoalan seperti kemacet­an dan polusi lalu lintas, pemborosan lahan per­kotaan, pembangunan pusat kota yang berlebih­an, penurunan kualitas lingkungan; untuk mening­katkan akses peluang kerja dan fasilitas-fasilitas sosial melalui pembangunan sentra-sentra baru; dan untuk menetapkan standar-standar yang me­muaskan bagi perumahan dan lingkungan yang ramah. Perencanaan kota tradisional semakin perlu diintegrasikan dengan tujuan-tujuan ling­kungan. Meskipun perencanaan patut dipuji atas segala prestasinya — seperti perlindungan ter­hadap pusat-pusat sejarah, perlindungan terha­dap wilayah pinggiran kota dan beberapa kota baru yang terencana balk — namun meleset jauh dart tujuan-tujuan tersebut di atas. Kemajuan tidak hanya tergantung pada perekrutan para perencana yang berpendidikan tinggi dan berde­dikasi pada tujuan-tujuan mendasar itu, tetapi lebih dan itu juga bergantung pada dukungan

Referensi

Adam and Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008.

William Outhwaite (ed), Pemikiran Sosial Modern, Jakarta, Kencana, 2008.

Robert H. Lauer, Perspektif Tentang Perubahan Sosial, Jakarta, Rineka Cipta, 3003.

Seotomo, Pembangunan Masyarakat, Jakarta, Pustaka Pelajar, 2003.

Ir. Mulyono Sadyohutomo, MRCP., Manajemen Kota dan Wilayah; Realitas dan Tantangan, Jakarta: Bumi Aksara, 2008.

Raldi Hendro Koestoer dkk, Dimensi Keruangan Kota, Jakarta Penerbitan Universitas Indonesia Press, 2001